Tentang Takdir dan Usaha
(Sebuah
analisa)
Oleh Muhsin Al-Hadi*
Pada
zaman Umar bin Khatthab (ra) diriwayatkan bahwa terdapat seseorang yang mencuri
suatu barang yang diwajibkan baginya hukuman potongan tangan (yaitu yang
melebihi hitungan ¼ dinar sesuai dengan penafsiran ditaqyidkannya ayat yang mutlak dengan hadis Nabi pada surat
al-maidah ayat 38). Tatkala itu Khalifah Umar menanyakan padanya akan sebab dia
mencuri, pencuri itu menjawab aku mencari karena sudah ditakdirkan oleh Allah
SWT, lalu khalifah Umar menghukumnya dengan pemotongan tangan dan cambuk.
Bertanya
padanya seorang sahabat, “Mengapa kau menghukumnya dengan dua hukuman wahai Umar?”.
Umar menjawab, “Potongan tangan adalah balasan yang diberikan karena dia telah mencuri,
sedangkan hukuman cambuk adalah hukuman baginya yang telah mengihtiqar atau menghina Qada dan Qudratnya
Allah SWT.”
Dari sini
kita temukan bahwa sejak zaman khilafah permasalahan tentang ilmu kalam (ilmu
yang membahas aqaid atau ushuluddin) sudah mulai bermunculan perlahan setelah Rasulullah
wafat, khusunya mengenai seberapa jauh ketentuan-ketentuan Allah berada pada diri
manusia.
Pada contoh
di atas merupakan salah satu kisah dari kaum atau firaq yang berpendapat bahwa “segala sesuatu berasal dari Allah SWT.” Kaum ini
lebih terkenal dengan sebutan Jabbariyah
(baca sejarah jabbariyah). Teori “predestination”
dipegang teguh oleh firqah ini, secara teorinya mereka terlalu mengarah ke kanan
yang mengangggap semua dimensi datang dari Allah SWT. Namun jikalau ditelaah lebih
mendalam firqah ini mengutuhkan akan tawakkal yang paling tinggi yang bisa dicerna
dengan baik pada tingkat kesufian tertentu. Kelemahan pada firqah ini akan dirasakan
pada ketidakadanya usaha yang dilakukan oleh manusia. Sehingga bisa saja manusia
itu menjadi malas dan hanya pasrah serta berserah diri.
Di sisi lain
terdapat pula firqah yang dimana mereka terlalu mengarahkan acuan teorinya ke kiri,
mereka adalah firqah Qadariyah (baca
s ejarah qadariah) mereka berpendapat bahwa “segala sesuatu berasal dari manusia
atas segala ketentuan, usaha, serta kemaunnya sendiri.” Di barat ini sering disebut
dengan “free will” yang meninggikan faham
humanism, mereka mengibaratkan manusia
layaknya jam yang sudah dibuat oleh tukangnya, yang sendirinya memiliki kemampuan
untuk berjalan sendiri dan akan berhenti ketika baterai atau waktunya selesai.
Kalau Tuhan ikut campur maka fungsi keberadaan surga dan neraka tidak selaras dengan
setiap usaha manusia dalam bertakwa, beribadah serta beramal sholeh. Namun kelemahan
teori ini dapat kita lihat pada suatu fakta sederhana, dimana terkadang ada saja
hal-hal yang nyatanya tidak berasal dari daya usaha manusia, melainkan adanya ketentuan
dan takdirnya. Contoh: tiba-tiba orang mendapatkan tawaran kerja tanpa sengaja,
kedatangan pemberian rizki yang dengan usahnya yang sedikit, dirasa kurang untuk
mendapatkannya, atau bahkan tanpa usaha sama sekali.
Selain dari
kedua firqah tersebut terdapat pula firqah yang menjadi penengah dari keduanya,
firqah ini disebut dengan Asy’ariyah firkah
yang dinisbatkan sebagai salah satu ahli sunnah wal jamaah (baca penisbatan ahli
sunnah waljammah kepada Asyariah dan Maturidiah). Pemahamannya berkeyakinan bahwa
terdapat ketentuan Allah pada setiap apa yang dilakukan oleh manusia, namun ketentuan
Allah SWT tidak memaksakan atau mengkudratkan manusia akan suatu hal melainkan manusia
itu sendiri yang memilih, dalam pilihan-pilihan (hal) baik itu datang dari
Allah SWT, dan dalam pilihan-pilihan (hal) buruk itu datang dari manusia itu sendiri.
Hal ini sudah menjadi suatu kelayakan karena setiap yang Allah SWT syariatkan terdapat
kebaikan di dalamnya.
Usaha,
kemauan, ketaatan menentukan manusia itu sendiri, arah yang mana yang akan ia tempuh,
namun terdapat pula kekuatan atau ketentuan Allah SWT di dalamnya “invisible
hand”. Teori ini menjelaskan agar kita terlahir menjadi manusia yang selalu berusaha,
namun juga tidak lupa akan hubungan dengan Allah SWT (mu’amalah ma’a Allah). Mereka membagi ketentuan ini menjadi dua
yaitu “Mubram” dan “Muallaq”. Mubram dicontohkan dengan ketetapan akan kematian yang pasti akan datang
pada waktunya, sedangkan dalam keadaan seperti apa entah kaya atau miskin,
muslim atau kafir itu menjadi ketentuan yang disebut Muallaq.
Firqah ini
pula menjelaskan akan kelebihan hubungan dengan Tuhan lebih mempengaruhi semuanya,
dimana kerohaniannyalah yang akan membuat dia merasa tenang dengan suatu kecukupan
dan kesyukuran di dunia dan yakin akan kebaikan di ahirat tanpa sedikit pun mengurangi
kepentingan akan suatu usaha mendapatkan kebaikan di dunia. Berusaha untuk menjadi
lebih baik pula adalah kewajiban karena itu bergantung pada diri manusia itu sendiri.
Usaha
yang dikombinasikan dengan keberadaan spiritual menjadi patokan penting dalam pemahaman
firqah ini. Kita tidak hanya menjadi seorang manusia yang berusaha untuk menjadi
lebih baik dalam segala hal, tanpa mengingat akan kekuatan sang pemilik “invisible hand” yang maha mengetahui,
maha kuasa, dan maha agung tersebut.
Wallahua’lam bissawab
*Mahasiswa fakultas
Ilahiyat, 19 Mayis University, Samsun
Labels: Diniyyah Islamiyyah, Pendidikan, Tulisan
1 Comments:
Nice Post... Article yang sangat menarik dan bermanfaat.... teruslah berkarya dan hadrikan kembali postingan-postingan yang bermanfaat ya,,, Terima kasih
Agen Judi Poker Dan Domino Online Terbaik
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home