Kenali Dirimu and Be The Best of “You”
Ini insyaAllah adalah tahun terakhir saya di Negeri Dua Benua: Turki. Lebih dari tiga tahun saya tercatat
sebagai mahasiswa Master program di Necmettin Erbakan University, Konya, jurusan Philosophy and Religious
Sciences yang terkonsentrasi pada wilayah Sejarah Agama. Bukannya tanpa
usaha dan doa untuk bisa sampai di sini dengan jalur beasiswa. Butuh perjuangan
dan proses jatuh bangun, yang puji syukur justru mampu menjadikan “saya” yang
terbaik dalam versi saya.
Saya sangat bersyukur karena memiliki keluarga yang sepenuhnya mendukung
pilihan saya. Saya percaya doa dari kedua orang tua memiliki andil besar dalam
segala pencapaian saya. Menghabiskan dan menikmati masa kecil di tanah
kelahiran, setelah menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah menengah pertama,
saya melanjutkan pendidikan ke tanah Jawa. Sudah terbiasa hidup sendiri, atau
lebih tepatnya, mandiri.
Pendidikan Strata Satu saya tempuh di Jakarta dan Bandung, yaitu di Islamic
College for Advanced Studies (ICAS) dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung (both
are fully funded). Ada cerita panjang dalam proses perkuliah saya yang juga
memerlukan waktu panjang, enam tahun. Tapi bagi saya (dan semoga juga bagi
teman-teman di luar sana yang mungkin saat ini sedang bergelut dengan bangku
kuliah), bukan sesuatu yang menyedihkan atau memalukan untuk memiliki kartu
mahasiswa yang sama selama enam tahun. Yang memalukan, adalah jika kita hanya
menjadi manusia pasif dalam kurun waktu tersebut.
Saya percaya selalu ada hikmah dibalik segala sesuatu. Dalam kurun waktu
enam tahun tersebut, saya memiliki cukup banyak pengalaman mengikuti organisasi
dan kegiatan sukarela, kursus yang menambah skill, bahkan juga banyak
pengalaman kerja. Sesudah wisuda, saya tidak perlu kesana-kemari mencari kerja,
karna bahkan sebelum wisuda sekalipun, saya sudah memiliki pekerjaan tetap
sebagai pengajar di ar-Radhia Islamic Preschool, Jakarta.
Well, selama enam tahun itu pula saya pontang-panting mencari kesempatan dan pengalaman
beasiswa sebagai student exchange dan sebagainnya. Mulai dari IELSP,
Global UGRAD, PPAN, International Youth Conference, IACS, program
pertukaran melalui organisasi-organisasi yang saya ikuti (PMI, Initiative of
Change) dan program-program lainnya yang infonya bisa saya dapat melalui
internet atau kawan-kawan sejawat. Dari sekian banyak program yang saya ikuti,
sampai sebelum saya berhasil mendapatkan beasiswa di Turki, saya hanya mendapat
satu kesempatan mengikuti program Heart and Mind: Dialogue and Actions
yang diselenggarakan di Jogjakarta bersama tiga puluh pemuda pemudi Indonesia
dan Australia lainnya.
Saya mendaftar IELSP sebanyak empat kali, dua kali pertama lulus sampai
seleksi wawancara, namun entah kenapa dua kali terakhir saya bahkan tidak lulus
berkas. Ketika pertama kali mendaftar IELSP, saat itu saya mendaftar bersama
empat teman saya yang lain. Kami melakukan hampir semua prosesnya bersama-sama,
dari mulai tes TOEFL, pengumpulan berkas, mengejar surat rekomendasi dosen, dan
lain-lain. Keempat dari kami pun lulus sampai tahap wawancara.
Ketika hasil seleksi wawancara diumumkan, hanya satu dari kami yang
berhasil lulus program IELSP. Jleb, kegagalan pertama sangatlah
menyakitkan, airmata mengalir tanpa perlu diminta. Terlebih, saya tahu pasti
kalau nilai akademik, hasil TOEFL dan kemampuan berbahasa Inggris teman saya
yang terpilih tidaklah jauh lebih baik dari saya. Saat itu, perasaan sok
superioritas masa muda saya membuat kegagalan tersebut terasa semakin pahit.
Padahal, dalam program beasiswa tersebut, bukan hanya kemampuan berbahasa Inggris
dan angka-angka di atas kertas saja yang menjadi kriteria, ada banyak hal
penting lainnya yang saat itu tidak saya ketahui atau mungkin tidak ingin saya
ketahui.
Setelah menyelesaikan pendidikan Strata Satu, sambil berbagi dan belajar
bersama anak-anak bangsa, saya tetap menjadi pemburu beasiswa. Hanya saja, kali
ini berubah jaluran dari pengejar beasiswa students exchange menjadi
pengejar beasiswa Master Degree. Dari mulai Graduate Degree IIEF,
PRESTASI USAID, CCIP, AUSAID, LOTUS, Erasmus Mundus, beasiswa Brunei Darussalam,
Korea, New Zealand, dan lain-lain, pernah saya jelajahi. Namun sayangnya, gagal
lagi dan lagi-lagi gagal, masih belum rezeki rupanya. Namun, saya bersyukur,
dengan banyaknya kegagalan yang saya hadapi, saya sudah terbiasa dan bahkan
berteman baik dengan rasa kecewa dan pedihnya, sehingga bagi saya, itu tak lagi
menjadi penghacur asa. Gagal lagi, ya coba lagi. Gitu aja kok repot. Yang saya
tahu pasti, gagal tanpa mencoba itu lebih menyesakkan dibandingkan gagal
setelah mencoba dan berusaha, denemeden pişman
olma yani.
Berbagi pengalaman berkaitan dengan beasiswa Turki, saat sedang utak-atik
internet, saya mendapat informasi tentang beasiswa Turki. Beberapa bulan
sebelum pendaftara dibuka, secara reguler saya memeriksa website yang
bersangkutan, mencari informasi dari para alumni, menjadi anggota grup-grup
beasiswa Turki, googling sana-sini, dan banyak lagi. Sampai pada akhirnya,
dibukalah pendaftara on-line pada bulan Maret. Dibandingkan dengan
beasiswa-beasiswa lainnya yang pernah saya ikuti, menurut saya pribadi, formulir
dan persyaratan beasiswa Turki jauh lebih mudah dan sederhana. Dan
Alhamdulillah, formulir dan segala persyaratannya terkirim dengan selamat
sampai tujuan.
Sekitar dua minggu setelah pendaftaran ditutup, alhamdulillah, saya
mendapat panggilan wawancara di kedutaan Turki, Jakarta. Hari itu, ada sekitar
limabelas orang peserta dari penjuru Indonesia. Wawancara memang dilakukan pada
hari yang berbeda-beda untuk menghindari kepadatan. Saya menjadi peserta ketiga
yang di-interview. Sebagai peserta ketiga, otomatis saya tanya-tanya
kepada peserta pertama tentang pertannyaan yang diajukan saat wawancara.
Menurutnya, hanya pertannyaan pada umumnya wawancara beasiswa, tentang mengapa
memilih Turki, dan alasan memilih universitas dan jurusan pilihan, juga tentang
nilai lebih mengapa kita pantas mendapat beasiswa, dan sebagainya.
Tiba giliran saya untuk wawancara. Memang, pertanyaannya tidak jauh berbeda
dari gambaran yang saya dapat sebelumnya. Namun, ada beberapa pertannyaan lebih
yang cukup menarik. Saat itu, saya ditanya, “did you see how many cars
parked in the garage? What are the colors of the cars?” Mungkin, pertanyaan
tersebut terkesan sepele dan tidak bermakna, tapi menurut saya, itu justru
menguji seberapa peka dan peduli kita terhadap sekitar. Dan, jangan pernah
meremehkan hal sekecil apapun. Karena apa yang kita anggap kecil, mungkin
bermakna besar untuk orang lain dan sebaliknya. Atau mungkin juga, sesuatu yang
kita anggap kecil saat ini, bisa bermakna besar bagi kita di kemudian hari.
Sekitar satu bulan setelah wawancara, tepat pada bulan Ramadhan 2014, saya
mendapat email pemberitahuan bahwa saya lolos beasiswa Turki. Lagi-lagi
alhamdulillah dan puji syukur yang luar biasa. Jatuh bangun dengan beasiswa
lainnya berkali-kali, namun pertama kali mendaftar beasiswa Turki, saya
langsung mendapatkan kesempatan yang istimewa ini, segala sesuatu memang akan
indah pada waktunya.
Dengan berhasilnya saya mendapatkan beasiswa Turki, bukan berarti saya
tidak lagi memiliki masalah dengar rasa takut, self-confidence dan
sebagainya. Setiap orang memiliki kekurangan dan rasa takut, namun sepandai apa
kita untuk bisa menutupi dan mengatasi rasa takut tersebut mampu menjadikan
kekurangan kita sebagai kelebihan tersendiri yang bahkan tidak dimiliki orang
lain. Walaupun terkadang, usaha tidak berbanding lurus dengan hasil yang kita
harapkan, tapi percayalah, kerja keras tidak pernah berkhianat, kita akan
mendapatkan sebanyak yang kita usahakan, bahkan mungkin lebih, hasil yang
terbaik untuk kita menurut Allah. Just do the best and let Allah do the
rest.
Sampai saat ini, saya mungkin masih tidak pandai beretorika di depan umum.
Tapi saya tahu dan yakin, saya pandai dalam bidang lainnya. Toh,
kemampuan public speaking dan berdebat yang tinggi bukannya nilai mati
bagi mereka yang ingin menempuh pendidikan di luar negeri atau sukses dalam berinteraksi. Saya sangat
setuju bahwa hal tersebut tentunya memberikan banyak pengaruh baik bagi si
empunya skill. Tapi tentunya itu saja tidak cukup, terkadang, kemampuan
mendengarkan dan berbuat jauh lebih dibutuhkan dibandingkan kemampuan
berbicara. Sometimes, your silence and your act is much more powerful than just your words. Bahkan, seorang pemimpin yang banyak bicara namun tidak peka dengan
tanggung jawabnya justru berbahaya.
Apa masalahnya jika kita tidak pandai public speaking atau berdebat?
Tapi ternyata, kita pandai dalam mengungkapkan sesuatu dengan tulisan, musik,
atau gambar misalnya, kita pandai mendengar dan memahami sekitar, a
friendly, trustworthy and easy going person, dan sebagainya. Selalu
berusaha menjadi lebih baik, mempelajari hal yang kita belum ketahui dan
mengembangkan potensi diri adalah wajib, tetapi jangan sampai melupakan potensi
yang ada pada diri sendiri.
“Everybody is genius. But if you judge a fish by its ability to climb a
tree, it will live its whole life believing that it is stupid,” (Albert Einstein). Jadi, kenali dirimu, kembangkan bakatmu and be the
best of “You”, jadilah yang terbaik dalam versimu sendiri.