Sunday, June 24, 2018

Kenali Dirimu and Be The Best of “You”


             Ini insyaAllah adalah tahun terakhir saya di Negeri Dua Benua: Turki. Lebih dari tiga tahun saya tercatat sebagai mahasiswa Master program di Necmettin Erbakan University, Konya, jurusan Philosophy and Religious Sciences yang terkonsentrasi pada wilayah Sejarah Agama. Bukannya tanpa usaha dan doa untuk bisa sampai di sini dengan jalur beasiswa. Butuh perjuangan dan proses jatuh bangun, yang puji syukur justru mampu menjadikan “saya” yang terbaik dalam versi saya.

Saya sangat bersyukur karena memiliki keluarga yang sepenuhnya mendukung pilihan saya. Saya percaya doa dari kedua orang tua memiliki andil besar dalam segala pencapaian saya. Menghabiskan dan menikmati masa kecil di tanah kelahiran, setelah menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, saya melanjutkan pendidikan ke tanah Jawa. Sudah terbiasa hidup sendiri, atau lebih tepatnya, mandiri.

Pendidikan Strata Satu saya tempuh di Jakarta dan Bandung, yaitu di Islamic College for Advanced Studies (ICAS) dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung (both are fully funded). Ada cerita panjang dalam proses perkuliah saya yang juga memerlukan waktu panjang, enam tahun. Tapi bagi saya (dan semoga juga bagi teman-teman di luar sana yang mungkin saat ini sedang bergelut dengan bangku kuliah), bukan sesuatu yang menyedihkan atau memalukan untuk memiliki kartu mahasiswa yang sama selama enam tahun. Yang memalukan, adalah jika kita hanya menjadi manusia pasif dalam kurun waktu tersebut.

Saya percaya selalu ada hikmah dibalik segala sesuatu. Dalam kurun waktu enam tahun tersebut, saya memiliki cukup banyak pengalaman mengikuti organisasi dan kegiatan sukarela, kursus yang menambah skill, bahkan juga banyak pengalaman kerja. Sesudah wisuda, saya tidak perlu kesana-kemari mencari kerja, karna bahkan sebelum wisuda sekalipun, saya sudah memiliki pekerjaan tetap sebagai pengajar di ar-Radhia Islamic Preschool, Jakarta.

Well, selama enam tahun itu pula saya pontang-panting mencari kesempatan dan pengalaman beasiswa sebagai student exchange dan sebagainnya. Mulai dari IELSP, Global UGRAD, PPAN, International Youth Conference, IACS, program pertukaran melalui organisasi-organisasi yang saya ikuti (PMI, Initiative of Change) dan program-program lainnya yang infonya bisa saya dapat melalui internet atau kawan-kawan sejawat. Dari sekian banyak program yang saya ikuti, sampai sebelum saya berhasil mendapatkan beasiswa di Turki, saya hanya mendapat satu kesempatan mengikuti program Heart and Mind: Dialogue and Actions yang diselenggarakan di Jogjakarta bersama tiga puluh pemuda pemudi Indonesia dan Australia lainnya.

Saya mendaftar IELSP sebanyak empat kali, dua kali pertama lulus sampai seleksi wawancara, namun entah kenapa dua kali terakhir saya bahkan tidak lulus berkas. Ketika pertama kali mendaftar IELSP, saat itu saya mendaftar bersama empat teman saya yang lain. Kami melakukan hampir semua prosesnya bersama-sama, dari mulai tes TOEFL, pengumpulan berkas, mengejar surat rekomendasi dosen, dan lain-lain. Keempat dari kami pun lulus sampai tahap wawancara.

Ketika hasil seleksi wawancara diumumkan, hanya satu dari kami yang berhasil lulus program IELSP. Jleb, kegagalan pertama sangatlah menyakitkan, airmata mengalir tanpa perlu diminta. Terlebih, saya tahu pasti kalau nilai akademik, hasil TOEFL dan kemampuan berbahasa Inggris teman saya yang terpilih tidaklah jauh lebih baik dari saya. Saat itu, perasaan sok superioritas masa muda saya membuat kegagalan tersebut terasa semakin pahit. Padahal, dalam program beasiswa tersebut, bukan hanya kemampuan berbahasa Inggris dan angka-angka di atas kertas saja yang menjadi kriteria, ada banyak hal penting lainnya yang saat itu tidak saya ketahui atau mungkin tidak ingin saya ketahui.

Setelah menyelesaikan pendidikan Strata Satu, sambil berbagi dan belajar bersama anak-anak bangsa, saya tetap menjadi pemburu beasiswa. Hanya saja, kali ini berubah jaluran dari pengejar beasiswa students exchange menjadi pengejar beasiswa Master Degree. Dari mulai Graduate Degree IIEF, PRESTASI USAID, CCIP, AUSAID, LOTUS, Erasmus Mundus, beasiswa Brunei Darussalam, Korea, New Zealand, dan lain-lain, pernah saya jelajahi. Namun sayangnya, gagal lagi dan lagi-lagi gagal, masih belum rezeki rupanya. Namun, saya bersyukur, dengan banyaknya kegagalan yang saya hadapi, saya sudah terbiasa dan bahkan berteman baik dengan rasa kecewa dan pedihnya, sehingga bagi saya, itu tak lagi menjadi penghacur asa. Gagal lagi, ya coba lagi. Gitu aja kok repot. Yang saya tahu pasti, gagal tanpa mencoba itu lebih menyesakkan dibandingkan gagal setelah mencoba dan berusaha, denemeden pişman olma yani.

Berbagi pengalaman berkaitan dengan beasiswa Turki, saat sedang utak-atik internet, saya mendapat informasi tentang beasiswa Turki. Beberapa bulan sebelum pendaftara dibuka, secara reguler saya memeriksa website yang bersangkutan, mencari informasi dari para alumni, menjadi anggota grup-grup beasiswa Turki, googling sana-sini, dan banyak lagi. Sampai pada akhirnya, dibukalah pendaftara on-line pada bulan Maret. Dibandingkan dengan beasiswa-beasiswa lainnya yang pernah saya ikuti, menurut saya pribadi, formulir dan persyaratan beasiswa Turki jauh lebih mudah dan sederhana. Dan Alhamdulillah, formulir dan segala persyaratannya terkirim dengan selamat sampai tujuan.

Sekitar dua minggu setelah pendaftaran ditutup, alhamdulillah, saya mendapat panggilan wawancara di kedutaan Turki, Jakarta. Hari itu, ada sekitar limabelas orang peserta dari penjuru Indonesia. Wawancara memang dilakukan pada hari yang berbeda-beda untuk menghindari kepadatan. Saya menjadi peserta ketiga yang di-interview. Sebagai peserta ketiga, otomatis saya tanya-tanya kepada peserta pertama tentang pertannyaan yang diajukan saat wawancara. Menurutnya, hanya pertannyaan pada umumnya wawancara beasiswa, tentang mengapa memilih Turki, dan alasan memilih universitas dan jurusan pilihan, juga tentang nilai lebih mengapa kita pantas mendapat beasiswa, dan sebagainya.

Tiba giliran saya untuk wawancara. Memang, pertanyaannya tidak jauh berbeda dari gambaran yang saya dapat sebelumnya. Namun, ada beberapa pertannyaan lebih yang cukup menarik. Saat itu, saya ditanya, “did you see how many cars parked in the garage? What are the colors of the cars?” Mungkin, pertanyaan tersebut terkesan sepele dan tidak bermakna, tapi menurut saya, itu justru menguji seberapa peka dan peduli kita terhadap sekitar. Dan, jangan pernah meremehkan hal sekecil apapun. Karena apa yang kita anggap kecil, mungkin bermakna besar untuk orang lain dan sebaliknya. Atau mungkin juga, sesuatu yang kita anggap kecil saat ini, bisa bermakna besar bagi kita di kemudian hari.

Sekitar satu bulan setelah wawancara, tepat pada bulan Ramadhan 2014, saya mendapat email pemberitahuan bahwa saya lolos beasiswa Turki. Lagi-lagi alhamdulillah dan puji syukur yang luar biasa. Jatuh bangun dengan beasiswa lainnya berkali-kali, namun pertama kali mendaftar beasiswa Turki, saya langsung mendapatkan kesempatan yang istimewa ini, segala sesuatu memang akan indah pada waktunya.

Dengan berhasilnya saya mendapatkan beasiswa Turki, bukan berarti saya tidak lagi memiliki masalah dengar rasa takut, self-confidence dan sebagainya. Setiap orang memiliki kekurangan dan rasa takut, namun sepandai apa kita untuk bisa menutupi dan mengatasi rasa takut tersebut mampu menjadikan kekurangan kita sebagai kelebihan tersendiri yang bahkan tidak dimiliki orang lain. Walaupun terkadang, usaha tidak berbanding lurus dengan hasil yang kita harapkan, tapi percayalah, kerja keras tidak pernah berkhianat, kita akan mendapatkan sebanyak yang kita usahakan, bahkan mungkin lebih, hasil yang terbaik untuk kita menurut Allah. Just do the best and let Allah do the rest.

Sampai saat ini, saya mungkin masih tidak pandai beretorika di depan umum. Tapi saya tahu dan yakin, saya pandai dalam bidang lainnya. Toh, kemampuan public speaking dan berdebat yang tinggi bukannya nilai mati bagi mereka yang ingin menempuh pendidikan di luar negeri atau sukses dalam berinteraksi. Saya sangat setuju bahwa hal tersebut tentunya memberikan banyak pengaruh baik bagi si empunya skill. Tapi tentunya itu saja tidak cukup, terkadang, kemampuan mendengarkan dan berbuat jauh lebih dibutuhkan dibandingkan kemampuan berbicara. Sometimes, your silence and your act is much more powerful than just your words. Bahkan, seorang pemimpin yang banyak bicara namun tidak peka dengan tanggung jawabnya justru berbahaya.

Apa masalahnya jika kita tidak pandai public speaking atau berdebat? Tapi ternyata, kita pandai dalam mengungkapkan sesuatu dengan tulisan, musik, atau gambar misalnya, kita pandai mendengar dan memahami sekitar, a friendly, trustworthy and easy going person, dan sebagainya. Selalu berusaha menjadi lebih baik, mempelajari hal yang kita belum ketahui dan mengembangkan potensi diri adalah wajib, tetapi jangan sampai melupakan potensi yang ada pada diri sendiri.

“Everybody is genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid,” (Albert Einstein). Jadi, kenali dirimu, kembangkan bakatmu and be the best of “You”, jadilah yang terbaik dalam versimu sendiri.


0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home