Monday, January 27, 2014

3 Tahun 3 Status : Tips Boyong Istri ke Turki

Oleh Abdul Ghaffar*

Hikayat Cak Gopar nekat boyong istri ke Turki (Dilengkapi Tutorial singkat hidup di Turki bersama keluarga).



Takdir adalah sesuatu yang tidak bisa diraba-raba oleh manusia. Namun bukan berarti Qadla’ (ketentuan) yang telah ditentukan Allah kita terima dengan hanya berpangku tangan sampai ketentuan tersebut menjadi Qadar (takdir) yang tidak bisa dirubah lagi. Bukankah Rasulullah Saw. pernah memberikan tips super canggih untuk merubah Qadla yang akan terjadi atas kita, Laa Yaruddu’ al-Qadla’a illa al-Dua’u (HR. Tirmidzi), Tidak ada yang dapat menolak Qadla selain Doa!. Dan sudah menjadi rumus hidup bahwa keinginan yang ada dalam doa yang dipanjatkan akan susah menjadi kenyataan jika tanpa dibarengi dengan usaha.

Jika kehidupan disimbolkan dengan titik-titik yang berdampingan hingga menjadi suatu garis lurus, maka tahun 2011 adalah salah satu titik penting kehidupan saya. Karena di tahun inilah sebuah takdir yang patut saya syukuri menimpa saya.  


Suatu malam di bulan oktober, ketika saya berada di salah satu kursi bis perjalanan Yogyakarta-Surabaya, sebuah email tanpa permisi masuk dan nongkrong dilayar Blackberry 8520, inti isinya adalah ucapan selamat atas diterimanya saya sebagai peraih beasiswa S2 dari pemerintahan Turki. Membacanya membuat saya girang senyam-senyum sendiri, ada sedikit bilur air di ujung mata saya. Untung saja kejadian ini terjadi di tengah malam ketika banyak penumpang yang tertidur di-ninabobok-an oleh goyangan-goyangan bis yang melaju kencang itu.

Dua minggu kemudian keluarga tumpah-ruah di Stasiun Pasar Turi Surabaya mengantarkan saya yang akan ke Jakarta mengurus beberapa hal sebelum berangkat ke Turki. Dan di tengah asyiknya kereta yang bersetubuh dengan rel kereta api itu, saya hanya duduk sembari melihat pemandangan dari jendela disamping saya, antrian pemandangan itu membawa saya ke rentetan kisah yang sudah saya lalui dari masa kecil dulu : Dimarahi bapak ketika gak sholat maghrib, masuk pesantren pertama kali, ngafalin mantra-mantra kehidupan berupa mahfudzot, hari pertama jadi mahasiswa, ikut unjuk rasa di depan gedung DPR, tentu juga teringat dengan kekasih hati yang beberapa bulan lalu sudah saya ikat dengan tali khitbah itu. Ya, sudah beberapa bulan saya  tidak jomblo lagi dan berstatus tunangan. Aduhai, rentetan peristiwa itu  berbaris menghiasi ingatan saya yang akhirnya membuat saya tidur pulas sembari tersenyum.

Setelah semua urusan di Jakarta selesai, maka di sore terakhir yang cerah itu tibalah saya di rumah calon mertua untuk minta izin ngais ilmu di negeri antah berantah. “Ikatan Khitbah” itu ada aturannya baik dalam budaya kita maupun agama, tentu saja saya yang akan pergi ke negeri jauh itu tidak sekedar pamit dan minta doa doank kepada mertua!. Keringat sempat sedikit bercucuran ketika ada sindiran yang diawali dengan kata “KAPAN?”.

Singkat cerita, Subuh hari yang dingin saya akhirnya tiba di sebuah kota yang ada di ujung Turki, Kota Trabzon! Di kota inilah selama satu tahun saya mempelajari bahasa negeri Ottoman ini.

Banyak teman bilang, saya ini anak yang penuh perasaan (serius lu tonk). Dan dari sekian banyak perasaan yang sibuk unjuk rasa di hati saya, perasaan cinta dan rindu kepada kekasih di tanah air mendominasi prasaan-perasaan lain. Saat itulah saya betul-betul sadar, ternyata begini toh yang namanya ‘pacaran’ jarak jauh alias LDR yang sering saya baca di novel remaja sewaktu saya masih muda dan unyu-unyu dulu.

Dan di tengah perasaan rindu selama satu itulah, hati kecil saya bertekat : Tahun depan saya mau pulang, nikah, terus berdua mau tinggal di Turki!!!

Tibalah akhirnya saya di satu titik kehidupan yang juga sangat penting. Tahun 2012 saya sudah menyandang status “suami”. Dan ternyata betul kata orang, jika sepasang kekasih sedang mabuk cinta, maka dunia serasa milik berdua. Saat itu, tidak ada yang membuat saya merasa gagah dan mewah selain jalan berdua dengan istri sembari kedua tangan saling menggenggam bergandengan. 

Hanya 10 hari setelah nikah saya mempunyai waktu tinggal di Indonesia dan harus segera kembali ke Turki karena saya sudah tidak akan tinggal di Trabzon lagi untuk belajar bahasa Turki, tapi di kota Konya. Di Kota inilah saya aktif kuliah pascasarjana. 

Tekad saya selama di Trabzon yaitu pulang ke Tanah Air untuk nikah alhamdulilah terwujud. Tapi boyong istri untuk berdua tinggal di Turki gimana?. Alhamdulillah, niat ini tercapai juga!. Dan tentu saja status saya sebagai mahasiswa dengan beasiswa pas-pasan lantas mau bawa istri tingga bersama bukan tanpa perhitungan. 



Berikut beberpa pertanyaan dari teman-teman yang sering ditanyakan kepada saya soal hal ini. 

1. Kok Cak Gopar nekat bawa istri ke Turki? Biaya hidup gimana mas bro?

Rezeki saya itu sudah dijatah sama Gusti Allah. Begitu juga dengan istri saya. Maka bersatunya saya dan istri, akan menyatukan rezeki kami. Saya yakin soal hal ini.

Walau saya ini Arek Bonek (Bondo Nekat / Modal Nekat), bukan berarti seratus persen saya nekat. Tentu ada ukuran yang saya pakai. 

Sebelum saya nikah dan tinggal di Konya, saya sudah cari informasi tentang kampus apa yang bagus untuk jurusan yang saya inginkan, dan kota mana yang biaya hidupnya murah?. Dari informasi yang saya dapat, kota Konya-lah yang memenuhi dua hal yang saya cari.

Ditambah lagi, Transportasi di Kota Santri ini ternyata gratis-tis untuk semua pelajar dan mahasiswa asing. Ini tentu sangat membantu, mengingat biaya sekali naik bus atau Tranway satu lira lebih.

Jadi kalau ente mau bawa istri, harus terukur juga ya.

2. Sorry ya Cak Gopar, mau tanya rahasia perusahaan. Emang duit beasiswa mu berapa? Gimana cara ngaturnya untuk sewa rumah dan lain-lain? Beneran tuh cukup?

Dua bulan pertama setelah saya tinggal di Konya, beasiswa saya sebesar 450 lira per bulan. 

Tentu dengan uang sebesar itu tidak akan cukup. Tapi alhamdulillah, sedikit kenekatan, doa, dan keyakinan bahwa rezeki itu ada yang ngatur, alhamdulillah Pemerintahan Turki menaikkan uang beasiswa berlipat-lipat menjadi 750 lira per bulannya. Dan alhamdulillah istri yang juga menjadi bendahara rumah tangga saya ternyata seorang yang jago me-manage keuangan. Dengan uang segitu, alhamdulillah dapat mencukupi hidup kami.

Perhitungan saya sebelum menginjakkan kaki di Konya ternyata tidak meleset, bahwa biaya hidup di kota ini termasuk murah. Alhamdulillah saya mendapatkan rumah di tempat yang strategis, masjid peninggalan Kesultanan Seljuk ada di depan rumah pas,  pusat halte bus, halte Tramway, pasar juga dekat. 

Harga sewa rumah hanya 250 untuk setiap bulannya. Ini sangat sangat sangat berbeda jauh dengan harga sewa rumah di kota lain, mengingat rumah saya berukuran luas dan ada di tempat strategis.

Biaya listrik rata-rata hanya 40 lira, dan air hanya 15 – 20 lira untuk setiap bulannya. Untuk menunjang pendidikan dan komunikasi, saya juga berlangganan internet, biayanya 60 lira per bulannya. Tapi saya hanya membayar 30 lira saja, karena saya yang tinggal di Apartemen lantai 3, mempunyai tetangga mahasiswa Indonesia yang tinggal di lantai pertama bersama keluarganya. Karena cakupan wireless dari rumah saya sampai ke rumah beliau, akhirnya kami patungan untuk menggunakan internet tersebut.

Hanya itu saja biaya-biaya wajib yang saya keluarkan setiap bulannya, jadi hanya sekitar 330 sampai 340 lira saja.

Dengan sisa uang sekitar 400 lira lebih itu lah saya hidup bersama istri. Soal uang, kekuasaan dipegang oleh istri. Dan alhamdulillah, cukup! Bahkan istri bisa menyisihkan uang tersebut untuk di tabung walau hanya sedikit.

3. Cuma itu aja Cak Gopar? Lain-lain yang penting ada nggak?

Ada sih, sebenarnya saya agak malu-malu. Tapi ini sekedar berbagi pengalaman ya, supaya teman-teman gak tanya-tanya lagi ke saya soal bagaimana bawa istri ke Turki…..

Kembali ke point nomer satu, rezeki itu ada yang ngatur. Alhamdulillah, begitu saya menyewa rumah. Ada orang Turki yang akan pindah rumah, sepertinya dia dan keluarganya akan pindah ke lain kota. Dan dia mempersilahkan saya mengambil seluruh isi rumahnya. Mulai dari sofa, karpet, lemari, kasur bahkan sampai benda-benda kecil seperti piring, gelas dan alat-alat masak pun diminta untuk saya ambil. Maka saya hanya menyewa mobil untuk mengangkut barang-barang tersebut, rumah yang sewa pun alhamdulillah benar-benar bimsalabim jadi “rumah”.

Ditambah lagi masyarakat di Kota Sufi ini baik-baik. Salah satu contohnya, pernah suatu hari di awal musim dingin, tiba-tiba ada seorang nenek yang nongkrong di apartemen saya. Ternyata dia habis keliling membawa beberapa bungkusan kebutuhan pokok dalam mobil untuk dibagikan ke orang-orang yang ditemuinya. Dan dari sekian banyak orang yang ditemui nenek tersebut adalah saya. Kamipun sedikit ngobrol.

Sejak saat itulah, nenek yang namanya pun saya tidak tahu itu, setiap bulan datang ke rumah saya dan mengajak saya ke supermarket untuk mengambil apapun kebutuhan saya. 

Tentu saja, keajaiban kota Maulana Jalaluddin Rumi ini tidak hanya ini, ada banyak hal yang sangat membantu saya. Tidak tepat kalau saya tulis di sini karena begitu panjang. (ni tulisan aja dah panjang banget hehehe.)

4. Terakhir ni cak Gopar, Soal visa dan izin tinggal istri gimana tuh?

Dari informasi yang saya dapat, jika mau melalui “jalur benar” di Kedutaan Turki di Jakarta untuk membawa istri tinggal di Turki sedangkan saya hanya berstatus mahasiswa maka ada beberapa syarat yang harus saya lakukan. Salah satunya adalah menyerahkan bukti saldo uang kita minimal Rp. 100.000.000 (Ya benar, kesalahan bukan di mata pembaca, Seratus Juta Rupiah!). Tapi ini hanya dengar-dengar ya, dan memang sepertinya benar. Uang itu digunakan sebagai jaminan, bahwa saya yang hanya mahasiswa ini bisa membawa istri hidup di Turki. Hal ini tentu wajar, Pemerintah Turki tidak mau warga negara lain nekat datang ke Turki dan nantinya terlantar. Dengan uang sebesar itu, tentu saja saya angkat tangan.

Sebelum saya tinggal di Konya, saya mendapat informasi dari teman. Bahwa pihak Emniyet di kota Konya mempunyai kebijakan, silahkan bawa istri ke sini dan gak perlu punya tabungan sebesar seratus juta untuk jaminan, cukup status saya sebagai mahasiswa bisa mensponsori istri untuk tinggal di kota ini. Istri saya pun mempunya ikamet (semacam KTP untuk izin tinggal) sendiri selama satu tahun.

Dan ingat, ini hanya kebijakan emniyet di Konya. Setelah saya cari informasi di kota lain, cara ini tidak bisa di tempuh. Jadi, sebelum anda bawa keluarga, tanya ke emniyet dulu ya.

Soal Visa Istri. Alhamdulillah hubungan diplomatik Pemerintahan Turki dan Indonesaia sangat baik, salah satu kebijakan dari hubungan ini adalah bahwa penduduk Indonesia dapat masuk ke Turki dengan menggunakan Visa On Arrival, artinya istri saya yang berkewarganegaraan Indonesia tidak perlu bikin permohonan untuk membuat visa sewaktu di Indonesia. Cukup dengan membeli tiket pesawat ke Turki dan membeli VOA di bandara Istanbul sebelum masuk pemeriksaan imigrasi.

Biaya VOA ini kalau tidak salah hanya 25 dollar. Dan mendapat izin tinggal di Turki selama 30 hari saja.

So, dalam waktu 30 hari itulah saya harus segera mendaftarkan istri untuk mendapatkan izin tinggal di Turki selama satu tahun.

(oh iya, soal VOA,,,, denger-denger VOA untuk warga Indonesia akan berhenti di bulan april tahun ini. Benar tidaknya saya tidak tahu).

Alhamdulillah setelah hampir satu tahun tinggal bersama istri di Konya, istri saya yang akhirnya hamil itu diminta keluarga pulang ke tanah air oleh keluarga yang meminta agar nanti melahirkan di Indonesia. Maka pulanglah kami ke Tanah Air tercinta.

Setelah tahun pertama saya berstatus tunangan, tahun ke dua berstatus menikah…. Maka ketika saya kembali ke Konya pada tahun ketiga, status saya naik pangkat lagi menjadi seorang Ayah.

Pada tahun ini saya tidak membawa istri dan anak, karena khawatir dengan anak yang masih terlalu kecil. 
Demikian hikayat cak gopar dalam tiga tahun ini. Udah dulu ceritanya…. Jari-jariku capek.

Bye bye…..
*Abdul Ghaffar, salah seorang anggota IKPM Turki, seorang mahasiswa Master jurusan Teologi di Universitas Konya Necmettin Erbakan.

Labels: , ,

5 Comments:

At January 27, 2014 at 8:55 PM , Blogger Admin said...

mantapp....!!!
btw masyarakat sana mayoritas menggunakan bahasa apa selain bahasa Turki? arab atau inggris?

 
At January 27, 2014 at 9:33 PM , Blogger Abdul Aziz said...

Mayoritas berbahasa Turki kang, ada bahasa Kurdi ada juga bahasa arab ammi di Turki bagian timuran..

 
At February 2, 2014 at 8:22 PM , Blogger sakti mutiara askar said...

mau kenal dengan istrinya sdr abdul ghofar bisa gak yaah..? hehe

 
At February 3, 2014 at 11:51 AM , Blogger Abdul Aziz said...

Kalo itu, izin ke suaminya saja mbak.. ^ ^

 
At June 25, 2017 at 6:26 PM , Blogger Unknown said...

Bagi tips donk abi agar DPT beasiswa s2

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home