IN MEMORIAM K.H. IMAM SYUBANI
Oleh Ust. Nasrullah Zarkasyi
Mungkin beliau tergolong wali, atau setidaknya
sufi. Kekayaan ilmunya jauh membuat beliau lebih tenteram daripada memiliki
banyak uang. Jariyah ilmu itu pun tak alang kepalang banyaknya; mengalir jauh,
hingga ke penjuru dunia. Buku-buku pengajaran Bahasa Arab yang disusunnya
bersama K.H. Imam Zarkasyi cukup menjadi saksi jariyah itu. Puluhan ribu pemuda
Islam telah terbebas dari buta bahasa Arab, atas jasa beliau. Bahkan, hingga ke
akhir hayatnya, curahan pikiran beliau hanya kepada Bahasa Arab. Itu yang
ditunjukkan beliau setiap kali penulis sowan ke rumahnya. “Saya sering bermimpi
bertemu Pak Zar. Dalam mimpi itu, beliau selalu menanyakan, ‘Pak Bani,
bagaimana Bahasa Arabnya?’ Itu yang selalu ditanyakan Pak Zar,” kisahnya hampir
setiap kali pertemuan.
Beberapa tahun ini, terdengar beberapa kali beliau masuk rumah sakit, namun kemudian sembuh. Hanya, Jum‘at pagi itu, tiba-tiba saja ada kabar beliau wafat. Inna lilahi wa inna ilaihi raji‘un. Kami pun ta’ziyah di rumahnya yang sangat-sangat sederhana untuk ukuran manusia sekaliber beliau. Di dinding rumah beliau terpampang foto beliau bersama Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni, yang mampir sowan, usai menghadiri munasabah di Gontor. Dalam kesempatan yang lain sebelumnya, Ust. Abu Bakar Ba‘asyir, tokoh internasional yang diteroriskan oleh AS itu, pernah menyempatkan diri mampir ke rumah itu, sebagai ta‘zhim kepada gurunya semasa di Gontor dulu. Sungguh, sebuah rumah sederhana yang penuh barakah.
Ustadz Imam Syubani adalah orang yang pantang menerima sesuatu yang beliau anggap bukan haknya. Sebagai guru PM Gontor, setiap bulan, beliau mendapat hantaran sembako, seperti beras, kopi, teh, gula, minyak dsb. Suatu ketika, karena alasan kesehatan, beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Gontor. Dalam pandangan beliau, konsekuensi dari itu, jatah sembako pemberian pondok tadi juga harus diakhiri, dihentikan. Beliau tidak mau makan gaji buta. Padahal, apa yang diberikan pondok itu adalah penghormatan atas jasa beliau sebagai anshar pondok selama ini. Tapi itulah, beliau bergeming.
Dulu sekali pun, pertengahan dekade 1980-an, K.H. Imam Zarkasyi —orang yang paling ditaati dan dihormatinya— menyarankan supaya Ust. Syubani menjalani operasi katarak (operasi mata). Awalnya beliau tidak mau, dengan pertimbangan, uangnya dari mana? Kecuali itu, Pak Zar saja juga tidak operasi katarak, kok malah dirinya yang disuruh. Maka Pak Zar pun mengatakan. “Saya yang mbayari, tapi Pak Bani dulu (yang operasi). Kalau sudah berhasil, setelah itu baru saya.” Maka operasi pun terlaksana. Namun, setelah itu, K.H. Imam Zarkasyi batal menjalani operasi katarak karena keburu wafat.
Ketawaddu‘an Pak Bani kepada Pak Zar bukan alang kepalang. Jelas-jelas, menurut Pak Zar, Buku-buku Durusullughah al-‘Arabiyah, kamus-kamus, dan Tamrinatnya itu adalah karya Pak Bani. Pak Zarkasyi hanya memberikan pengarahan dan garis-garis besarnya saja. Kesungguhan, kecerdasan, dan keikhlasan Pak Bani yang membuat buku itu wujud. Namun, apa kata Pak Bani? “Semuanya itu Pak Zar. Saya ini hanya disuruh menulis saja apa yang dikatakan Pak Zar.” Luar biasa. Bahkan, menurut pengakuan Pak Zarkasyi juga, motto pondok “Berbudi Tinggi; Berbadan Sehat; Berpengetahuan Luas; dan Berpikiran Bebas” adalah buah pemikiran Ust. Syubani. Sungguh, betapa tinggi keikhlasan beliau; betapa besar jasa beliau. Tak banyak orang mengetahuinya.
Ya, Ust. Syubani benar-benar berjasa; jariyahnya melimpah. Juga, kalau beliau mau, hartanya pun bisa melimpah. Tapi tidak. Beliau zuhud, tidak ingin hanya kaya di dunia. Semuanya harus serba sederhana, apa adanya. Dalam usianya yang lanjut, terkadang beliau membetulkan sendiri genting rumahnya yang bocor. Ketika tetangganya ingin membantu, beliau justru melarang dan setengah marah. Bagi yang tidak paham, akan menyebutnya aneh. Namun, seorang sufi memang ingin selalu dan tetap khalis, hingga ke hutang budi pun dihindari.
Dari jerih payahnya menyusun buku Durusullughah al-‘Arabiyah bersama K.H. Imam Zarkasyi, semestinya beliau mendapat royalti sebagai penulis. Mulanya, hal itu berlangsung sejak K.H. Imam Zarkasyi masih hidup. Namun, suatu ketika beliau mengirimkan surat kepada penerbit, minta supaya pemberian itu dihentikan. Beliau merasa tidak berhak lagi. Karenanya, mulai saat itu, beliau tidak mau menerima dan tidak boleh diberi royalti. Akhirnya, setelah dibujuk bahwa pemberian itu merupakan amanat almarhum K.H. Imam Zarkasyi, wasiat almarhum. Maka, beliau pun bersedia menerimanya kembali, namun tidak diambil semuanya.
Setelah dishalatkan, sehabis shalat Jum‘at, jenazah K.H. Imam Syubani dikuburkan di dekat rumahnya di belakang Pasar Pon, di tepi sungai kecil. Sungguh, tak sepadan dengan sosoknya. Tapi, itu hanyalah pandangan manusia yang masih hidup. Bagi Allah, kelapangan kubur bukan meluasnya tanah sempit (2 X 1 M²) tempat meletakkan jenazah, melainkan keleluasaan orang hidup di alam barzakh, dalam rahmat Allah selama menanti hari akhir. Meskipun dikubur di pemakaman raja-raja, jika amal ibadahnya tak cukup menolong, kubur yang sempit itu akan kian menghimpit.
Kini, Ust. Syubani, mungkin, tengah tersenyum menikmati hari penantian di alam barzakh. Beliau tak perlu was-was dengan bekal untuk melintasi Shirath al-Mustaqim. Insya Allah cukup.
Kembali kepada yang hidup. Sepeninggal K.H. Imam Zarkasyi dan K.H. Imam Syubani memang telah tak ada lagi penjaga gawang utama bahasa Arab di PM Darussalam Gontor. Namun, yang patut disyukuri, kini pondok telah memiliki beberapa orang doktor bahasa Arab. Di pundak para pendekar itu bahasa Arab di Gontor tertumpu ke depan. Tinggal lagi, mengikut para pendahulu itu dalam keistiqamahannya berbuat: bertekun, gigih, dan ikhlas. Ustadz Syubani, jasamu akan selalu kami kenang.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home