Wasiat Pak Sahal (Pendiri Pondok Modern Gontor)
Oleh Admin IKPM Turki
Saya
berbicara kali ini betul-betul dengan ihlas. Hanya akan saya ambil
sedikit-sedikit, dan singkatnya, atau pucuknya saja. Semua yang akan saya
sampaikan ini bahkan sedikitnya direkam dan rekaman ini nanti mudah dijadikan
buku dan dapat dibaca oleh seluruh umat, sampai sampai pada anak cucu saya
sendiri dan anak-anaku sekalian yang ada.
Sebagai
mukaddimah, jangan sampai salah terima, kalau pondok modern, Pak Sahal ataupun
Pak Zarkasi, itu anti kepada siapapun yang menjadi pegawai, anti kepada priyai,
anti kepada buruh, tidak!
Sama
sekali tidak. Ini supaya dicatat lebih dulu. Saya tidak menghalangi, saya tidak
anti, saya tidak memusuhi, orang yang menjadi pegawai. Maka disini saya
tekankan di dalam niatmu. Jangan salah niat, kalau sampai salah niat akan rugi
hidupmu. Selama hidupmu hanya akan rugi karena salah niat.
Kalau
saya, rumah tangga saya, anak istri cucu saya kebetulan kecukupan, jangan
katakan saya ini bangga. Saya hanya bersukur saja. Hanya kebetulan, bukan
sombong, dan tidak bangga.
Umpamanya
masuk pondok modern ini ingin jadi pegawai, itu berarti niatmu sudah kalang
kabut. Jangan sampai niatmu itu rusak. Maka disini saya beri jalan, bagaimana
cara orang hidup.
Kalau
sekarang anak-anak ini kebetulan melarat orang tuanya, jangan kecil hati.
Sekiranya anak-anak ini kaya orang tuanya, jangan berbesar hati. Ini
diantaranya saya anggap penting dalam pembicaraan saya ini. saya tidak punya
apa-apa, tetapi berani hidup. BERANI HIDUP TAK TAKUT MATI. TAKUT MATI JANGAN
HIDUP, TAKUT HIDUP MATI SAJA, ini semboyan saya.
Segala
titah apapun, cacing-cacing, kutu-kutu, walang, kalajengking, kodok, kadal, semut,
semua sudah dijamin rezekinya oleh Allah. Ini yang saya pegang. Wamaa min
dabbaatin fil ardi illaa’alallaahi rizquha. Harrik yadaka unzil alaika rizqon.
Ini harus diingat, gerakkan tanganmu dan Allah akan menurunkan rezeki kepadamu.
Sungguh
saya sudah tidak punya apa-apa. Konsekuensinya
saya digoda sampai melarat habis-habisan, tapi pikiran saya tidak sampai
lepas.”Kumlawe gumreged”, kumlawe artinya tangan digerakkan dan gumreged
artinya makan.
Jangan
kecil hati karena tidak menjadi pegawai. Menghadapi hidup jangan kecil hati,
betul-betul jangan kecil hati. Pada suatu masa, beban akan menimpa keluarga,
sebagaimana yang pernah dialami keluarga saya. Bagaimana orang tua saya
menyekolahkan anak-anaknya, apa yang saya pakai untuk menyekolahkan anak-anak
saya.
Anak
saya sekolah ini, anak pak lurah sekolah HIS yang uang sekolahnya sampai 3
gulden atau 3 rupiah, artinya padi satu kuintal. Tapi saya bismillah, tanah
saya sebelah sana sebanyak seperempat hektar telah saya wakafkan, yang sebelah
situ setengah hektar pun sudah saya wakafkan. Hanya tanaman itu (pohon kelapa),
selama anak pak sahal masih sekolah hasilnya masih tetap dipungut untuk
menyekolahkan anak-anak pak sahal. Yang berarti anak-anak itu akan meneruskan
cita-cita pak Sahal.
Itu
diantara nasib yang saya alami tetapi tetap berani, berani hidup tak takut
mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja.
Tak
perlu korupsi bisa hidup. Jangan kecil hati. Jangan edan-edanan. Saya tidak
anti kalau anak-anakku nanti menjadi mahasiswa, menjadi sarjana, kemudian
menjadi pegawai, jadi buruh, gajinya sebulan dua puluh lima ribu sampai lima
puluh ribu. Tapi jangan kesana tekanannya. Jangan terlalu menggaris bawahi
kesana, sampai-sampai lupa kepada tugasnya.
Kalau
orang sudah menjadi pegawai mati otaknya. Ini tidak semua, tapi pada umumnya.
Sudah sekolah setengah mati, masuk tsyanawiyah terus masuk ke Gontor lalu
menjadi mahasiswa, ahirnya menjadi pegawai, lupa segalanya. Kitabnya tidak
dibaca lagi. Tabligh tidak mau. Nasib rakyat tidak dipedulikan, hanya mengumpul
dengan anak istrinya. Khianat……khianat…..
Hanya
menghitung-hitung, tanggal berapa ini? kurang berapa lagi sebulan? Kapan naik
pangkatnya? Kapan naik gaji? Kapan ini? Kapan itu? Hidupnya jor-joran denggan
kawan-kawannya.
Naudzubillah……
Sudah
mondok sekian lamanya belajar agama seperti tafsir, hadist, dan lainnya. Tidak
untuk mengurus tabligh, tidak untuk ngurus, tidak untuk apa-apa. Hilang setelah
jadi pegawai. Sudah lupa kepada masyarakat, sudah lupa kepada negara, sudah
lupa kepada nasib agama.
Masih
untung kalau mau sembahyang atau jum’atan, itulah pegawai. Boleh dilihat jadi
pegawai sepuluh atau duapuluh tahun belum bisa buat rumah. Itu biasa,
paling-paling kalung sebentar, cincin sebentar, Honda sebentar.
Jangan
sampai anak-anak sekalian menyandarkan warisan orang tua. Warisan tidak
memberkahi, anggaplah tidak akan menerima warisan. Hidup self help, berani
menolong diri sendiri. Maka kalau hanya menyandarkan hanya pada orang tua itu
namanya kere, pengemis. Kalau memang jantan, tidak usah menerima warisan orang
tua, seperti Triumurti, Pak Sahal, Pak Zarkasih, dan Pak Fanani. Ayah saya
hanya mempunyai sawah tidak lebih dari satu hektar, tapi anak-anaknya seperti
saya, Pak Lurah, Pak Fanani, Pak Zar dan lainnya, sabar.
Pegang
doran, pegang cangkul, betul-betul petani. Pak Lurah sepuh, ayahnya Pak Iwuk,
juga mencangkul. Saya pun demikian, tapi tidak kecil hati. Zaman dulu, kalau
orang sudah sekolah Belanda itu merasa orang nigrat. Merasa orang terpandang,
merasa maju, orang yang cerdas, karena sekolah disekolahkan Belanda. Tapi ayah
saya tidak demikian, ayah saya seorang kiyai di desa, tetapi terpandang, jujur,
adil dan di cintai.
Menjadi
murid atau santri pondok modern jangan kecil hati. Kamu itu belum apa-apa,
besarkan hatimu. Yen wanio ing gampang, wedio ing pakewuh, sabarang ora
kelakon, ini wasiat Ramayana, artinya : “Kalau hanya ingin enak saja, takut
kesulitan, takut kesukaran hidup, apa saja tidak akan tercapai”. Hidup adalah
perjuangan, lieben is treigen. Itulah manusia hidup di dunia. jangan takut
hidup. Ini yang harus dipegang mulai dari sekarang.
Yang
lebih penting lagi adalah jujur. Percaya kepada Allah. Jangan kecil hati.
Inilah yang saya amanatkan. Amanat
yang saya pidatokan, yang pertama kali mengenai iqtisyodiyyah, mengenai
ekonomi, pengupa jiwa, golek sundang pangan, sangune urep.
Jangan
sampai anak-anakku iri kepada kawan-kawannya yang menjadi pegawai. Iri kepada
orang yang mendapatkan gaji. Sekali lagi jangan kecil hati. Jangan salah niat.
Ini yang saya pertama kali tanamkan kepada anak-anakku.
Jangan
takut hidup. Yang penting iman kuat. Jaga kehormatan, insyaallah cukup rezeki.
Ini saja anak-anakku, mudah-mudahan ada manfaatnya, ada berkahnya, untuk hidup
di dunia akhirat, khusnul khotimah.
*Dishare
oleh putri ke 2 Pak Hasan Abdulloh Sahal [Dhoriefah Niswah Elfidaa]
Labels: Pendidikan, Pengalaman, Tulisan
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home