Konservasi Budaya Ala Gontor
Oleh Ust. Nasrullah Zarkasyi
Akhir-akhir
ini, banyak terlontar pendapat tentang konservasi budaya atau hal melestarikan
budaya Indonesia. Hal ini terjadi karena umumnya anak-anak usia remaja, atau
bahkan yang telah dewasa, tidak banyak yang mengetahui, memahami, apalagi mampu
mengekspresikan budaya Indonesia. Hilangnya kemampuan bahasa daerah di kalangan
remaja maupun orang dewasa; sangat sedikitnya anak-anak dari masing-masing suku
yang mengenal dan mampu menari tarian setempat: Aceh dengan tarian Suedati atau
Saman-nya; suku Sunda dengan tarian Jaipong, seni calung atau seni angklungnya,
dst. Apalagi anak-anak lain daerah. Juga, tidak semua sekolah mengajarkan
hal-hal tersebut, baik secara kurikuler maupun ekstrakurikuler. Keterbatasan
staf pengajar tentu saja menjadi alasannya. Akibatnya, sangat sedikit orang
Indonesia yang mengenal budayanya.
Namun
demikian, lain dengan yang terjadi di Pondok Modern Darussalam Gontor (Pondok
Gontor). Lembaga pendidikan pesantren ini, secara lengkap, memperkenalkan,
mengajarkan, bahkan mendidikkan kehidupan dan kebudayaan kepada para santrinya.
Segala segi kehidupan diajarkan di pondok ini, adat-istiadat, etika, kebiasaan
baik, tidak terkecuali kesenian. Jadi, di Gontor, para santri tidak hanya
mengenyam pendidikan agama saja, melainkan juga kebudayaan secara utuh, baik
kebudayaan Islam maupun kebudayaan nasional. Berikut ceritanya.
Sejak
lama, Pondok Modern Darussalam Gontor (Pondok Gontor) mewajibkan para santrinya
yang telah menjadi siswa kelas 5 dan 6 Kulliyatu-l-Mu‘allimin al-Islamiyyah
(KMI/sekolah menengahnya Gontor) mementaskan sebuah acara kesenian, yakni Drama
Arena (DA) untuk siswa kelas 5, dan Panggung Gembira (PG) untuk siswa kelas 6.
Awalnya, semasa masih dipentaskan dalam aula, kedua pentas seni ini sangat
terbatas isi, jenis, dan jumlah acaranya. Dulu, DA, yang dipentaskan di
panggung buatan di sisi timur Aula, hanya mementaskan tidak lebih dari 4 jenis
mata acara kesenian, yakni Drama Tragedy, Drama Komedi, Deklamasi, dan Koor.
Sementara itu, siswa kelas 6 yang menempati panggung utama Aula, mementaskan
lebih banyak acara, yakni Panembrama Jawa, Panembrama Sunda, Drama Bahasa Arab,
Drama Bahasa Inggris (dengan cerita yang berbeda), Wayang Orang, Musik, serta
Drama Komedy. Pementasan DA pun dibatasi hingga pukul 22.00 WIB malam, sedangkan
PG selesai pada pukul 00.00.
Waktu
terus berjalan; dua jenis pentas seni itu pun berubah, bekembang. Pada dekade
1990-an mulai ada tambahan sedikit demi sedikit. Kelas 6 juga menampilkan acara
baca puisi berbahasa Indonesia; menampilkan tari-tarian daerah maupun manca
Negara, seperti tari India; drama komedi diganti dengan Drama Kabaret. Wayang
yang semula menggunakan dialog bahasa Jawa, diganti dengan bahasa Arab dan atau
Inggris. Drama yang merupakan acara utama hanya dipentaskan satu kali, satu
cerita, dengan bahasa yang berganti-ganti, sesuai suasana. Durasinya pun
dipangkas.
Berbilang
tahun kemudian, seiring bertambahnya jumlah siswa kelas 5 atau kelas 6 yang
akan tampil, materi acara ditambah. Acara tari-tarian diperbanyak, seperti tari
Jawa, tari Padang, Tari Melayu, tari Aceh (Saman, Seudati, atau Didong). Masuk
pula beberapa atraksi yang sebenarnya lebih tepat digelar di luar panggung,
seperti keterampilan bermain sepeda, bermain bola, serta beberapa atraksi bela
diri, sehingga acara menjadi sangat padat dan beragam.
Entah
bagaimana mulanya, setelah kedua pentas seni itu digelar di luar Aula —karena
Aula tak lagi mampu menampung penonton— jumlah acara DA ikut bertambah. Isinya,
persis seperti PG. Acara tari-tarian, musik, baca puisi, ikut ditampilkan,
sehingga durasi pementasa pun sama dengan kelas 6. Begitulah seterusnya. Yang
menarik, kedua pentas seni ini, kini, menjadi ajang persaingan antara kedua
angkatan. Acara pun digelar sangat spektakuler, meriah, kolosal, memakan biaya
banyak (hanya untuk satu malam), dan melibatkan banyak person, bahkan
emosional. Atmosfernya sulit digambarkan dengan kata-kata.
Namun
demikian, bukan hal di atas yang menjadi catatan dalam tulisan ini, melainkan
akibat yang menarik dari “tradisi” pentas seni itu. Dalam sekitar dua dekade
ini, ketika pondok alumni Gontor dan pondok-pondok Cabang Gontor berdiri, kedua
pentas seni itu pun dibawa oleh para alumni Gontor yang tengah mengabdi di
tempat-tempat tersebut. Segalanya pun ditiru, bentuk background panggung, jenis
acara, gaya tampil pembawa acara, dsb.
Maka,
secara otomatis, jika para alumni itu juga menggelar acara tari-tarian seperti
di Gontor, berarti ikut melestarikan budaya nasional Indonesia, meskipun mereka
bukan berasal dari suku yang sama. Ketika di Gontor, anak-anak penari Padang
bukan hanya santri dari Padang; penari Campursari tidak semuanya berasal dari
suku Jawa; demikian pula para penari tari Aceh. Namun dengan kesungguhannya
dalam menampilkan suguhan itu, dengan latihan setiap malam selama hampir dua bulan,
mereka pun sangat luwes menampilkan gerakan tari yang bukan berasal dari
sukunya. Bahkan kemudian, mereka pun siap menjadi pelatih tari daerah itu di
tempat-tempat pengabdiannya.
Kini,
pondok alumni telah mencapai jumlah 200-an; dan pondok cabang Gontor telah
mencapai 20 cabang, putera dan puteri. Hal ini menandakan semakin banyak pula
santri yang mementaskan kesenian daerah Indonesia. Ini apa kalau bukan langkah
nyata konservasi budaya? Maka, berkembanglah pelestarian budaya Indonesia.
Melihat apa yang dilakukan Pondok Gontor ini, Prof. Dr. Eng. H. Muhammad Zuhal,
M.Sc., Menristek era Presiden B.J. Habibie, menganggap Pondok Gontor bukan
sekedar lembaga pendidikan, melainkan telah menjadi lembaga pembudayaan.
Akan
halnya Emha Ainun Nadjib, alumnus Gontor yang “hanya” dua setengah tahun
mengenyam pendidikan Gontor, tersenyum geli ketika mendengar sastrawan D.
Zawawi Imron ingin membuat Pondok Pesantren Budaya, dan berkata “Kalau mau
membuat Pesantren budaya, gak usah macem-macem. Suruh dia melihat Gontor ini,
lho! Semua ada di sini.” Begitu ujarnya kepada penulis beberapa tahun silam.
Tentang
dua pentas seni itu, Pimpinan Pondok, K.H. Hasan Abdullah Sahal, selalu
mengingatkan bahwa pentas seni ini bukan sekedar pentas hiburan, melainkan juga
harus bermuatan pendidikan. “Ini (DA dan PG) adalah kurikulum Pondok Modern
Darussalam Gontor. Wajib diikuti oleh semua santri. Pementasnya wajib,
penontonnya juga wajib. Begitu pula guru-guru pembimbingnya.” Lantas, siapa
yang masih meragukan nasionalisme Pondok Gontor? Jelas, sangat bodoh dan tidak
paham pondok. Semoga pemerintah mengetahui hal ini dan mengapresiasi.
Labels: Gontor, Pendidikan, Sejarah, Tulisan
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home