Pandangan Shahrur Tentang Konsep Kata ‘Al-Dzikr’ Dalam Al-Qur’an
Oleh Abdul Ghaffar
Sekilas
Biografi Shahrur
Muhammad
Shahrur yang bernama lengkap Muhammad Shahrur bin Daib Tahir dilahirkan di
Damaskus, Syiria, pada 11 April 1938 M. Ayahnya bernama Deyb bin Deyb Shahrur
dan Ibunya adalah Siddiqah binti Salih Filyun. Dalam kehidupan pribadinya,
Shahrur dinilai telah berhasil membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Dari
Istri tercintanya, Azizah, ia memperoleh lima anak dan dua cucu. Tiga anaknya
yang sudah menika adalah Tariq (beristrikan Rihab), Lays (beristrikan Olga),
dan Rima (bersuamikan Luis). Sedangkan dua lainnya adalah Basil dan Mas’un dan
dua cucunya bernama Muhammad dan Kinan. Kasih sayang Shahrur terhadap
keluarganya, paling tidak, diindikasikan dengan selalu melibatkan mereka dalam
lembaran persembahan karya-karyanya.
Pendidikannnya
diawali di sekolah dasar yakni Ibtida’iyah, I’dadiyah dan Tsanawiyah ditempuh
di kota kelahiraanya pada lembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi. Ijazah
Tsanawiyahnya ia peroleh dari sekolah itu pada tahun 1957. Pada bulan Maret
1958 dengan beasiswa dari pemerintah ia pergi ke Uni Soviet untuk mempelajari
Teknik Sipil (Hadanah Madaniyah) di Moskow.
Pada
tahun 1959 dan tahun 1964, Shahrur menyelesaikan diplomanya di bidang teknik
tersbut dan kembali ke Syiria pada tahun 1965 serta mulai mengabdi di
Universitas Damaskus. Pada tahun yang bersamaan, Shahrur melanjutkan studi ke
Irlandia tepatnya di Universitas College, Dublin dalam bidang studi yang sama.
Pada tahun 1967, Shahrur berhak melakukan penelitian pad Imparsial College,
London, Inggris. Karen apda tahun itu, terjadi konflik politik antara Syiria-Inggris,
lalu ia keluar dari Inggris. Selanjutnya Universitas Damaskus mengirimkannya ke
Irlandia untuk melanjutkan program Megister dan Doktoralnya di bidang teknik
sipil konsentrasi Mekanika Pertanahan (Soil mechanich) dan teknik pembangunan
(Fondation Engineering) di Universitas Nasional Irlandia. Gelar Magisternya ia
dapat pada tahun 1969 dan gelar Doktoralnya pada tahun 1972 dan sejak itulah
Shahrur kembali ke Damaskus , kota kelahirannya.
Setelah
tercapainya gelar Doktor, Shahrur diangkat menjai dosen di fakultas Teknik
Sipil Universitas Damaskus di Bidang Mekanika Tanah dan dasar bumi sejak tahun
1972 sampai sekarang. Dari hasil belajarnya diluar negeri, ia tidak hanya
belajat teknik sipil, akan tetapi ia juga belajar ilmu Filsafat, Fiqih Lughah,
dan ilmu Linguistik. Ia menguasai dua macam bahasa selain bahasa Ibunya sendiri
(bahasa Arab) yaitu bahasa Rusia dan bahasa Inggris.
Kemudian
pada tahun 1995, Shahrur juga pernah di undang menjadi peserta kehormatan dan
terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keislamandi Libanon dan Maroko.
Meskipun dasar pendidikan Muhammad Shahrur adalah teknik, namun ia tidak
berarti ia sama sekali kososng mengenai wawasan keislaman. Sebab akhirnya ia
tertarik untuk mengkaji al-Qur’an dan Hadits secara lebih serius dengan
pendekatan filsafat bahasa dan dibingkai dengan teori ilmu eksaktanya, bahkan
ia juga menulis dan artikel tentang pemikiran keislaman. Konsen Shahrur
terhadap kajian ilmu keislaman sebenarnya dimulai sejak ia berada di Dublin,
Irlandia pada tahun 1970-1980 ketika mengambil program Magister dan
Doktoralnya. Di samping itu, peranan temannya DR. Ja’far Dik al-Bab juga sangat
besar. Sebagaimana diakuinya, berkat pertemuannya dengan Ja’far pada tahun 1958
dan 1964, Shahrur dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa.
Dalam
masa mengenyam studi di Moskow, antara tahun 1957-1964, Shahrur mulai merasakan
“benturan peradaban” anatara latar belakang ideologisnya sebagai seorang muslim
dan fenomena social-intelektual di Moskow yang komunis. Di negara inilah, Shahrur
mulailah berkenalan dan kemudian mengagumi pemikiran marxisme. Sungguhpun ia
tidak mengklaim sebagai penganut aliran tersebut. Namun demikian ia mengakui
banyak berhutang budi pada sosok Hegel terutama dialektikanya- dan Alfred North
White Head.
Sebuah
proses yang wajar yang dialami seseorang ketika mengalami perbenturan cultural
sebagaimana dialami oleh Shahrur adalah munculnya berbagai pandangan baru yang
cenderung berbeda dan kontradiktif. Hal ini kemudian melahirkan berbagai
pertanyaan yang berusaha mendobrak kemapanan prespektif dan keyakinan, baik
terkait dengan moralitas maupun doktrin teologis. Kegelisahan ini juga dialami
oleh Shahrur.
Kegelisahan
ini belanjut hingga ia menempuh program magister dan doktoralnya di Universitas
Dublin Irlandia. Berdasarkan pengakuannya, sejak tahun 1970, Shahrur mencoba
melakukan kajian ulang terhadap berbagai konsep yang selama ini sudah dianggap
baku dalam doktrin teologi Islam. Ia mulai tertarik untuk mengkaji tema-tema
terkait dengan al-Qur’an, antara lain konsep al-Zikr, ar-Risalah dan
an-Nubuwah. Sepuluh tahun berlalu, Shahrur masih bergelut dengan berbagai
peranyaan yang belum terjawab secara memuaskan. Shahrur merasakan bahwa
kajiannya sejak tahun 1970-1980 tersebut tidak membuahkan hasil.
Pada
tahun 1980 Shahrur bertemu dengan Ja’far Dikki al-Bab seorang Doktor ilmu
bahasa lulusan Unversitas Moskow tahun 1973 sekaligus teman sejawatnya sebagai
tenaga pengajar di Universitas Damaskus. Pertemuan yang dilanjutkan dengan
rangkaian diskusi serius dan intensif hingga tahun 1986 ini, merupakan fase
pencerahan dalam diri Shahrur yang secara konsekuen membentuk pola pikir
Shahrur dan kecendrungannya untuk mendalami filsafat bahasa dan humanisme. Fase
tersebut menunjukkan pengaruh besar yang diperoleh Shahrur dari pemikiran
Ja’far tentang rahasia bahasa Arab.
Dasar
Pemikiran Muhammad Shahrur
Mengetahui
dasar pemikiran seorang tokoh merupakan hal yang mutlak untuk diketahui sebelum
kita masuk untuk mengetahui pemikirannya. Karena dasar pemikiran merupakan
pijakan yang dijadikan titik tolak yang sudah barang tentu sangat mempengaruhi
seluruh kontruksi dan bangunan pemikiran seseorang. Shahrur dalam pola
pemikirannya bertolak dari pada Landasan Metodologis. Dalam melakukan pembacaan
terhadap al-Qur’an, Shahrur menjadikan linguistik sebagai dasar pandangan dalam
membaca al-Qur’an (majhad lughawi), karena ia disamping sebagai eksak (teknik
sipil), ia juga seorang ahli filsafat bahasa.
Memang
pada dasarnya secara akademis Shahrur tidak memahami dan mendalami bahasa Arab,
akan tetapi pengetahuannya tentang bahasa Arab tidak bisa diremehkan, terutama
sejak pertemuannya dengan temannya yaitu Ja’far Dikki al-Bab. Shahrur dalam
menyampaikan pemikirannya dalam al-Kitab al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah
menggunakan suatu metode kebahasaan yang terilhami oleh ilmu linguistik modern.
Metode tersebut dinamakan dengan al-manhaj at-tarikh al-ilmi (metode histories
ilmiah). Akan tetapi Shahrur sendiri tidak membahas secara detail tentang
manhaj yang dipergunakannya. Dan Ja’far Dikki al-Bab merupakan orang yang
paling berperan dalam pemahaman metode yang dibawakan Shahrur.
Metode
Shahrur yang disebut sebagai al-manhaj at-tarikh al-ilmi merupakan sebuah
metode yang digali dari teori linguistik Ibn Jinni dan a-Jurjani. Kristalisasi
dari kedua tokoh tersebut meyatu menjadi teori Farisian yang dikembangkan oleh
Abu al-Farisi. Sintesa tersebut secara garis besar memberikan
ketentuan-ketentuan bahwa bahasa adalah suatu tatanan, bahasa merupakan bentuk
realitas sosial, dan struktur bahasa selalu berkaitan dengan fungsi iblaqh
(fungsi penyampai), serta adanya korelasi antara bahasa dan pemikiran.
Dari
Abu al-Farisi, Shahrur menganut prinsip sebagai berikut :
1.
Bahwa bahasa merupakan sebuah sistem (anna al-lughah nizam)
2.
Bahasa merupakan fenomena sosiologis dan kontruksi bahasanya sangat terkait
dengan konteks dimana bahasa itu disampaikan.
3.
Ada keterkaitan (at-talazum) antara bahasa dan pemikiran.
Metode
linguistik Shahrur secara utuh sebagai bahan pembacaan terhadap al-Qur’an
secara keseluruhan memberikan aturan-aturan sebagai berikut: Bahasa sebagai
medium komunikasi antara manusia sehingga menimbulkan adanya keterkaitan antara
ucapan dan pikiran manusia. Maksudnya manusia sejak awal telah berbicara yaitu
melalui suara untuk mengkomunikasikan tujuan-tujuan (pikirannya) kepada orang
lain. Sementara proses pemikiran manusia tidaklah terbentuk sekali waktu, akan
tetapi terbentuk secara bertahap dari ilmu pengetahuan inderawi kemudian
meningkat menjadi pengatahuan abstrak.
Begitu
pula tatanan bahasa, ia tidak langsung terbentuk secara sempurna tetapi melalui
proses benturan dengan peradaban yang sejalan dan sesuai dengan perkembangan
pengetahuan manusia. Dengan menggunakan metode linguistiknya, Shahrur kemudian
membangun teori batas (teori hudud), yang di dasarkan atas pemahaman terhadap
dualitas yakni al-hanif dan al-istiqamah.
Konsep
al-Dzikr
Shahrur
memulai Muqaddimahnya dengan membuat perumpamaan orang yang melukis wajah
manusia bermata satu. Siapapun orang yang memandang lukisan itu akan menyadari
ketidakberesan lukisan itu dan akan mengatakan bahwa “Lukisan wajahnya kurang
satu mata!”.
Berbeda
dengan orang yang melukis wajah manusia dari cermin. Orang-orang yang
memperhatikan lukisan itu tidak akan menyadari sesungguhnya lukisan itu terbalik;
Bahwa mata sebelah kanan pada wajah yang ada dalam lukisan sebenarnya adalah
mata sebelah kiri pada wajah orang yang dilukis. Kesalahan yang tidak disadari
ini pernah terjadi pada manusia selama bertahun-tahun ketika mereka meyakini
bahwa matahari mengelilingi bumi, bukan sebaliknya, bumi yang sebenarnya
mengitari matahari. Kesalahan ini juga menimpa umat Islam selama berabad-abad,
ketika meyakini bahwa kata al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr dan al-Furqan
merupakan murâdifât (sinonim).
Berangkat
dari ayat Inna nahnu nazzalna al-dzikro wa inna lahu lahafidzun (al-Hijr ayat
9). Shahrur mengkritik pemahaman bahwa antara al-Kitab, al-Qur’an, al-Furqon
merupakan term yang sama dengan al-Dzikr. Dengan keyakinan bahwa term–term
tersebut mempunyai makna spesifik, maka Shahrur dengan metode linguistiknya
mencoba untuk menggali makna term–term di atas.
A.
Al-Kitab dan al-Qur’an
Kata
al-Kitab berasal dari kata ka-ta-ba yang dengan bahasa arab berarti pengumpulan
sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk memperoleh manfaat atau untuk membentuk
sebuah tema yang sempurna. Dari sisi fonologi (al-Nahiyah al-Shautiyah),
susunan fonem kata ka-ta-ba berkebalikkan dengan kata ba-ta-ka, dan
dimungkinkan pula berupa kata ba-ka-ta. Sedangkan dari sisi semantik, kata
“al-Kitab” berlawanan arti dengan kata ‘al-Batak’ dan ‘al-Bakat’.
Misalnya,
sebuah kalimat yang berbunyi Ashdara raisu al-wuzara’i kitaban (perdana menteri
mengeluarkan sebuah ‘kitab’), dapat dipahami bahwa yang dimaksud kata ‘kitab’
adalah ‘pernyataan yang terkandung di dalamnya’ bukan kitab dalam pengertian
teks atau tulisan semata-mata. Karena jika demikian, kalimat tersebut menjadi
tidak sempurna. Kata kitab yang mengandung pengertian ‘buku’ terdapat dalam
kalimat kitab al-fiziyah li shaff al-‘asyir (buku fisika untuk kelas sepuluh).
Sekarang
kita kembali merujuk kepada teks al-Qur’an, misalnya kita mendapatkan istilah
as-Shalatu kitabun hal ini berarti bahwa sholat merupakan bagian dari tema-tema
ibadah yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, sebagai mana dalam redaksi
ayat inna as-sholata ‘ala al-mu’minina kitaban mauquta (an-Nisa’ ayat 103).
Oleh
karena itu, Allah memberi wahyu kepada Muhammad berupa tema yang
bermacam-macam, maka setiap tema dapat disebut sebagai kitab. Misalnya lagi
dalam redaksi ayat rosulun min alaihi yatlu shuhufan muthohharoh; fiha kutubun
qoyyimah (al-Bayyinah: 2-3). Term ‘al-Kutub al-Qoyyimah’ mencakup
pengertian’kitab al-khalqi’ (kitab tentang penciptaan), kitab al-sa’ah (kitab
tentang hari akhir), kitab al-salah (kitab tentang solat) dan seterusnya.
Seluruh tema tersebut merupakan kutub.
Dari
semua pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa memaknai setiap penggalan ayat
yang memuat kata kitab dalam mushaf dengan arti ‘sebuah kitab yang mencakup
kandungan mushaf secara keseluruhan’ merupakan kesalahan besar. Karena
ayat-ayat yang tertera dalam lembaran-lembaran mushaf, dari surat al-Fatihah
sampai an-Nas, terdiri dari berbagai macam kitab dalam pengertian tema. Dan
masing-masing dari kitab tersebut terdiri dari berbagi macam sub kitab.
Contohnya: kitab al-ibadat terdiri dari kitab solat, kitab shaum, kitab zakat
dan kitab haji. Kitab shalat terdiri dari kitab wudhu, kitab ruku’, kitab sujud
dan seterusnya.
Berbeda
halnya ketika kata kitab berbentuk makrifat (definite) dengan imbuhan atribut
lam ta’rif, “al-Kitab”, seperti dalam ayat dzaalika al-kitabu la roiba fiih,
maka kata tersebut merujuk pada pengertian seluruh kandungan mushaf. Dengan
demikian, istilah al-Kitab merujuk pada pengertian ‘kumpulan berbagai macam tema
(al-mawaadi) yang diwahyukan kepada Muhammad’, dan oleh karenanya, surat
al-Fatihah disebut fatihat al-kitab. Jadi, kitab dalam pengertian ini memuat
tema-tema utama sebagai berikut: 1. Kitab al-ghaib, ‘alladzina yu’minuuna bi
al-ghaib’; 2. Kitab ibadah dan akhlak, ‘wa yuqimuna al-shalata wa mimma
rozaqnahum yunfikum’.
Sekarang
mari menilik pada redaksi ayat Shahru romadhona alladzi unzila fiihi al-Qur’anu
hudan li an-naasi wa bayyinaati min al-huda wa al-furqan (al-Baqarah: 185).
Pada ayat ini didapati term al-Qur’an disandingkan (athaf) dengan term
al-Qur’an (disini kami memhami bahwa kata bayyinat dalam pengertian Shahrur
adalah al-Kitab –Pemakalah). Dalam linguistik arab, fungsi athaf adalah untuk
menunjukkan adanya perbedaan atau untuk menunjukkan antara kata yang umum atau
yang khusus. Ada dua kemungkinan pemahaman disini, yaitu: pertama, bahwa
al-Qur’an adalah sebuah entitas dan al-Kitab adalah entitas yang lain, dan
penyandinga keduanya untuk menunjukkan adanya perbedaan (li al-taghayur).
Kedua, al-Qur’an merupakan bagian dari al-Kitab dan penyandingan keduanya
berfungsi sebagai penujukan yang khusus dari yang umum. Pemahaman ini sebagai
usaha penegasan (ta’kid) dan menarik perhatian pendengar betapa pentingnya
bagian yang khusus. Kita perhatikan ketika menyebut al-Kitab, Allah berfirman:
hudan li al-muttaqin karena dalam al-Kitab tercantum hukum-hukum ibadah,
muamalah, dan akhlak, yatu kandungan yang mendoromg terciptanya ketakwaan,
selain juga mengandung al_qur’an. Dan ketika menyebut al-Qur’an, Allah
berfirman: hudan li al-nas. Kata al-nas mencakup seluruh kategori manusia bagi
yang bertakwa atau tidak. Seluruh orang yang bertakwa adalah manusia, tetapi
tidak seluruh manusia itu bertakwa.
B.
Al-Dzikr
Firman
Allah: Shaad, wa al-Qur’ani dzi al-Dzikr (Shad:1). Jika kita perhatikan
hubungan yang mengikat antara term al-Qur’an dan al-Dzikr pada ayat ini,
tedapat atribut ‘dzi’ yang menandakan pada sifat sesuatu (memilik sebuah sifat
tertentu); bukan pada entitas itu sendiri. Dalam konteks ini, kata al-Qur’an
berkedudukan sebagai yang disifati, sedangkan al-Dzikr adalah kata sifatnya.
Sehingga pengertiannya ‘dan al-Qur’an adalah pemilik al-Dzikr’.
Apakah
pengertian sifat Dzikr yang hanya khusus dimiliki oleh al-Qur’an ini?
Pada
bentuk dasarnya, al-Qur’an tidak berbentuk linguistik, kemusian oleh Allah
diubah menjadi berbentuk linguistik berdasarkan firman-Nya: inna ja’alnaahu
Qur’anan ‘Arabiyan (Al-Zuhruf: 3). Proses pengubahan al-Qur’an menjadi
berbentuk bahasa manusia dalam format linguistik Arab berlangsung secara
sempurna yang bentuk finalnya berupa ‘bentuk bahasa literal’ (shigah mantuqah)
(yang dapat diucapkan dan dapat dimengerti). Oleh karena itu, dikatakan bahwa
al-Qur’an adalah bacaan yang dilantunkan dalam bentuk literal, baik dapat
didengar maupun tidak.
Term
al-Dzikr dapat didefinisikan sebagai pengubahan (al-Qur’an) menjadi berbentuk
bahasa manusiawi yang secara literal berupa linguistik Arab. Bentuk inilah yang
digunakan untuk membaca dan memahami al-Qur’an. Bentuk bahasa al-Qur’an ini adalah
bahasa Arab, oleh karena itu dikatakan kepada bangsa Arab: laqod anzalna
ilaikum kitaban fiihi dzikrukum afala ta’qilun (al-Anbiya: 10), yang berarti
bahwa di dalam al-Qur’an terdapat bentuk wahyu berbahasa Arab yang tersuarakan
dalam media bahasa Arab murni. Oleh karena itu, Allah menggunakan redaksi:
fiihi dzikrukum.
Pemahaman
ini menguraikan permasalahan besar yang muncul dalam perdebatan antar
mu’tazilah dan musuh-musuh mereka tentang kemakhlukan al-Qur’an. Jika sekarang
kita telah memahami bahwa al-Dzikr bukanlah al-Qur’an itu sendiri, melainkan
salah-satu sifat dari al-Qur’an –yaitu bentuk linguistiknya- maka hilanglah
kesimpang-siuran dalam masalah ini. Oleh karena itu, dalam al-Kitab disebutkan
bahwa syarat untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an adalah: wa ma arsalnaka qoblaka
illa rijalan nuuhi ilaihim, fas aluu ahl al-Dzikr in kuntum la ta’lamun
(al-Anbiya: 7). Dari prespektif ini, pemahaman yang dimaksud dengan ahl
al-Dzikr adalah pihak yang memiliki pengetahuan mendalam terhadap linguistik
Arab.
Bentuk
al-Qur’an yang baru diciptakan inilah yang menduduki posisi sebagai bentuk
wahyu yang bernilai ibadah. Ketika manusia membaca bentuk literal al-Qur’an,
meskipun tanpa pemahaman terhadap pemahamannya, tetap bernilai ibadah. Seluruh
manusia baik Arab atau non-Arab jika membaca al-Qur’an maka tindakannya tetap
bernilai ibadah. Ketika orang Indonesia membaca ‘bacaan dzikr’ dalam shalat,
walaupun tidak mengetaui maknanya, maka shalatnya tetap sah. Oleh karena itu
Allah berfirman: aqim shalat li dzikri (Thaha: 14).
C.
Al-Furqon
Term
al-Furqon diturunkan pertama kali kepada Musa bersamaan diturunkannya al-Kitab.
Pengertiannya, bahwa al-Furqon diturunkan secara terpisah dari al-Kitab.
Pernyataan al-Furqon ini disampaikan Allah dalam surat ali Imran, bahwa
al-Furqon, Taurat dan injil diturunkan sebelum al-Kitab diturunkan kepada nabi
Muhammad saw. Al-Furqon yang diturunkan kepada nabi Musa adalah al-Furqon yang
sama yang digunakan kepada Muhammad dalam bulan Ramadhan sebagaimana redaksi
Syahru Rhomadhona alladzi unzila fihi al-Qur’an (Al-Baqarah:185). Karena
al-Furqon disebut dengan sejajar (ma’tuf) dengan al-Qur’an, maka dapat
disimpulkan bahwa al-Furqon bukan al-Qur’an.
Firman
Allah: ‘tsumma atayna musa al-Kitab’ (al-An’am: 153), wa idz atayna musa
al-Kitab wa al-Furqona… (al-Baqarah: 53), dan min qoblu hudan li al-nasi wa anzala
al-furqon (Ali-Imron: 4). Artinya bahwa al-Furqon telah diturunkan (kepada
Musa) sebelum ia diturunkan kepada Muhammad. Dengan demikian, Shahrur
menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-Furqon adalah sepuluh wasiat yang
diturunkan kepada Musa dan ditetapkan juga kepada Isa, kemudian terakhir kali
diturunkan kepada Muhammad. Al-Furqon adalah titik temu tiga agama samawi yang
menjadi wilayah bersama (al-qosim al-musytarak) antara ketiga agama tersebut.
Di dalamnya terdapat ketakwaan social yang disebut dengan akhlak. Ia bukan
penjelasan tentang ibadah ritual, melainkan wahyu yang mengandung karakter
universal dan manusiawi.
Al-Furqon
terdiri dari dua macam: pertama, Furqon Umum (al-Furqon al-‘Amm), yaitu yang
diturunkan kepada Musa, Isa dan Muhammad. Kedua, Furqon khusus (al-Furqon
al-Khos), yang diturunkan kepada Muhammad saja.
Sumber:
http://cakgopar.com/2014/03/pandangan-shahrur-tentang-konsep-kata-al-dzikr-dalam-al-quran/
Labels: Pendidikan, Tulisan
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home