Friday, March 7, 2014

Pandangan Shahrur Tentang Konsep Kata ‘Al-Dzikr’ Dalam Al-Qur’an



Oleh Abdul Ghaffar

Sekilas Biografi Shahrur

Muhammad Shahrur yang bernama lengkap Muhammad Shahrur bin Daib Tahir dilahirkan di Damaskus, Syiria, pada 11 April 1938 M. Ayahnya bernama Deyb bin Deyb Shahrur dan Ibunya adalah Siddiqah binti Salih Filyun. Dalam kehidupan pribadinya, Shahrur dinilai telah berhasil membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Dari Istri tercintanya, Azizah, ia memperoleh lima anak dan dua cucu. Tiga anaknya yang sudah menika adalah Tariq (beristrikan Rihab), Lays (beristrikan Olga), dan Rima (bersuamikan Luis). Sedangkan dua lainnya adalah Basil dan Mas’un dan dua cucunya bernama Muhammad dan Kinan. Kasih sayang Shahrur terhadap keluarganya, paling tidak, diindikasikan dengan selalu melibatkan mereka dalam lembaran persembahan karya-karyanya.


Pendidikannnya diawali di sekolah dasar yakni Ibtida’iyah, I’dadiyah dan Tsanawiyah ditempuh di kota kelahiraanya pada lembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi. Ijazah Tsanawiyahnya ia peroleh dari sekolah itu pada tahun 1957. Pada bulan Maret 1958 dengan beasiswa dari pemerintah ia pergi ke Uni Soviet untuk mempelajari Teknik Sipil (Hadanah Madaniyah) di Moskow.

Pada tahun 1959 dan tahun 1964, Shahrur menyelesaikan diplomanya di bidang teknik tersbut dan kembali ke Syiria pada tahun 1965 serta mulai mengabdi di Universitas Damaskus. Pada tahun yang bersamaan, Shahrur melanjutkan studi ke Irlandia tepatnya di Universitas College, Dublin dalam bidang studi yang sama. Pada tahun 1967, Shahrur berhak melakukan penelitian pad Imparsial College, London, Inggris. Karen apda tahun itu, terjadi konflik politik antara Syiria-Inggris, lalu ia keluar dari Inggris. Selanjutnya Universitas Damaskus mengirimkannya ke Irlandia untuk melanjutkan program Megister dan Doktoralnya di bidang teknik sipil konsentrasi Mekanika Pertanahan (Soil mechanich) dan teknik pembangunan (Fondation Engineering) di Universitas Nasional Irlandia. Gelar Magisternya ia dapat pada tahun 1969 dan gelar Doktoralnya pada tahun 1972 dan sejak itulah Shahrur kembali ke Damaskus , kota kelahirannya.

Setelah tercapainya gelar Doktor, Shahrur diangkat menjai dosen di fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus di Bidang Mekanika Tanah dan dasar bumi sejak tahun 1972 sampai sekarang. Dari hasil belajarnya diluar negeri, ia tidak hanya belajat teknik sipil, akan tetapi ia juga belajar ilmu Filsafat, Fiqih Lughah, dan ilmu Linguistik. Ia menguasai dua macam bahasa selain bahasa Ibunya sendiri (bahasa Arab) yaitu bahasa Rusia dan bahasa Inggris.

Kemudian pada tahun 1995, Shahrur juga pernah di undang menjadi peserta kehormatan dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keislamandi Libanon dan Maroko. Meskipun dasar pendidikan Muhammad Shahrur adalah teknik, namun ia tidak berarti ia sama sekali kososng mengenai wawasan keislaman. Sebab akhirnya ia tertarik untuk mengkaji al-Qur’an dan Hadits secara lebih serius dengan pendekatan filsafat bahasa dan dibingkai dengan teori ilmu eksaktanya, bahkan ia juga menulis dan artikel tentang pemikiran keislaman. Konsen Shahrur terhadap kajian ilmu keislaman sebenarnya dimulai sejak ia berada di Dublin, Irlandia pada tahun 1970-1980 ketika mengambil program Magister dan Doktoralnya. Di samping itu, peranan temannya DR. Ja’far Dik al-Bab juga sangat besar. Sebagaimana diakuinya, berkat pertemuannya dengan Ja’far pada tahun 1958 dan 1964, Shahrur dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa.

Dalam masa mengenyam studi di Moskow, antara tahun 1957-1964, Shahrur mulai merasakan “benturan peradaban” anatara latar belakang ideologisnya sebagai seorang muslim dan fenomena social-intelektual di Moskow yang komunis. Di negara inilah, Shahrur mulailah berkenalan dan kemudian mengagumi pemikiran marxisme. Sungguhpun ia tidak mengklaim sebagai penganut aliran tersebut. Namun demikian ia mengakui banyak berhutang budi pada sosok Hegel terutama dialektikanya- dan Alfred North White Head.

Sebuah proses yang wajar yang dialami seseorang ketika mengalami perbenturan cultural sebagaimana dialami oleh Shahrur adalah munculnya berbagai pandangan baru yang cenderung berbeda dan kontradiktif. Hal ini kemudian melahirkan berbagai pertanyaan yang berusaha mendobrak kemapanan prespektif dan keyakinan, baik terkait dengan moralitas maupun doktrin teologis. Kegelisahan ini juga dialami oleh Shahrur.

Kegelisahan ini belanjut hingga ia menempuh program magister dan doktoralnya di Universitas Dublin Irlandia. Berdasarkan pengakuannya, sejak tahun 1970, Shahrur mencoba melakukan kajian ulang terhadap berbagai konsep yang selama ini sudah dianggap baku dalam doktrin teologi Islam. Ia mulai tertarik untuk mengkaji tema-tema terkait dengan al-Qur’an, antara lain konsep al-Zikr, ar-Risalah dan an-Nubuwah. Sepuluh tahun berlalu, Shahrur masih bergelut dengan berbagai peranyaan yang belum terjawab secara memuaskan. Shahrur merasakan bahwa kajiannya sejak tahun 1970-1980 tersebut tidak membuahkan hasil.

Pada tahun 1980 Shahrur bertemu dengan Ja’far Dikki al-Bab seorang Doktor ilmu bahasa lulusan Unversitas Moskow tahun 1973 sekaligus teman sejawatnya sebagai tenaga pengajar di Universitas Damaskus. Pertemuan yang dilanjutkan dengan rangkaian diskusi serius dan intensif hingga tahun 1986 ini, merupakan fase pencerahan dalam diri Shahrur yang secara konsekuen membentuk pola pikir Shahrur dan kecendrungannya untuk mendalami filsafat bahasa dan humanisme. Fase tersebut menunjukkan pengaruh besar yang diperoleh Shahrur dari pemikiran Ja’far tentang rahasia bahasa Arab.

Dasar Pemikiran Muhammad Shahrur

Mengetahui dasar pemikiran seorang tokoh merupakan hal yang mutlak untuk diketahui sebelum kita masuk untuk mengetahui pemikirannya. Karena dasar pemikiran merupakan pijakan yang dijadikan titik tolak yang sudah barang tentu sangat mempengaruhi seluruh kontruksi dan bangunan pemikiran seseorang. Shahrur dalam pola pemikirannya bertolak dari pada Landasan Metodologis. Dalam melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an, Shahrur menjadikan linguistik sebagai dasar pandangan dalam membaca al-Qur’an (majhad lughawi), karena ia disamping sebagai eksak (teknik sipil), ia juga seorang ahli filsafat bahasa.

Memang pada dasarnya secara akademis Shahrur tidak memahami dan mendalami bahasa Arab, akan tetapi pengetahuannya tentang bahasa Arab tidak bisa diremehkan, terutama sejak pertemuannya dengan temannya yaitu Ja’far Dikki al-Bab. Shahrur dalam menyampaikan pemikirannya dalam al-Kitab al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah menggunakan suatu metode kebahasaan yang terilhami oleh ilmu linguistik modern. Metode tersebut dinamakan dengan al-manhaj at-tarikh al-ilmi (metode histories ilmiah). Akan tetapi Shahrur sendiri tidak membahas secara detail tentang manhaj yang dipergunakannya. Dan Ja’far Dikki al-Bab merupakan orang yang paling berperan dalam pemahaman metode yang dibawakan Shahrur.

Metode Shahrur yang disebut sebagai al-manhaj at-tarikh al-ilmi merupakan sebuah metode yang digali dari teori linguistik Ibn Jinni dan a-Jurjani. Kristalisasi dari kedua tokoh tersebut meyatu menjadi teori Farisian yang dikembangkan oleh Abu al-Farisi. Sintesa tersebut secara garis besar memberikan ketentuan-ketentuan bahwa bahasa adalah suatu tatanan, bahasa merupakan bentuk realitas sosial, dan struktur bahasa selalu berkaitan dengan fungsi iblaqh (fungsi penyampai), serta adanya korelasi antara bahasa dan pemikiran.

Dari Abu al-Farisi, Shahrur menganut prinsip sebagai berikut :

1. Bahwa bahasa merupakan sebuah sistem (anna al-lughah nizam)
2. Bahasa merupakan fenomena sosiologis dan kontruksi bahasanya sangat terkait dengan konteks dimana bahasa itu disampaikan.
3. Ada keterkaitan (at-talazum) antara bahasa dan pemikiran.

Metode linguistik Shahrur secara utuh sebagai bahan pembacaan terhadap al-Qur’an secara keseluruhan memberikan aturan-aturan sebagai berikut: Bahasa sebagai medium komunikasi antara manusia sehingga menimbulkan adanya keterkaitan antara ucapan dan pikiran manusia. Maksudnya manusia sejak awal telah berbicara yaitu melalui suara untuk mengkomunikasikan tujuan-tujuan (pikirannya) kepada orang lain. Sementara proses pemikiran manusia tidaklah terbentuk sekali waktu, akan tetapi terbentuk secara bertahap dari ilmu pengetahuan inderawi kemudian meningkat menjadi pengatahuan abstrak.

Begitu pula tatanan bahasa, ia tidak langsung terbentuk secara sempurna tetapi melalui proses benturan dengan peradaban yang sejalan dan sesuai dengan perkembangan pengetahuan manusia. Dengan menggunakan metode linguistiknya, Shahrur kemudian membangun teori batas (teori hudud), yang di dasarkan atas pemahaman terhadap dualitas yakni al-hanif dan al-istiqamah.

Konsep al-Dzikr

Shahrur memulai Muqaddimahnya dengan membuat perumpamaan orang yang melukis wajah manusia bermata satu. Siapapun orang yang memandang lukisan itu akan menyadari ketidakberesan lukisan itu dan akan mengatakan bahwa “Lukisan wajahnya kurang satu mata!”.

Berbeda dengan orang yang melukis wajah manusia dari cermin. Orang-orang yang memperhatikan lukisan itu tidak akan menyadari sesungguhnya lukisan itu terbalik; Bahwa mata sebelah kanan pada wajah yang ada dalam lukisan sebenarnya adalah mata sebelah kiri pada wajah orang yang dilukis. Kesalahan yang tidak disadari ini pernah terjadi pada manusia selama bertahun-tahun ketika mereka meyakini bahwa matahari mengelilingi bumi, bukan sebaliknya, bumi yang sebenarnya mengitari matahari. Kesalahan ini juga menimpa umat Islam selama berabad-abad, ketika meyakini bahwa kata al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr dan al-Furqan merupakan murâdifât (sinonim).

Berangkat dari ayat Inna nahnu nazzalna al-dzikro wa inna lahu lahafidzun (al-Hijr ayat 9). Shahrur mengkritik pemahaman bahwa antara al-Kitab, al-Qur’an, al-Furqon merupakan term yang sama dengan al-Dzikr. Dengan keyakinan bahwa term–term tersebut mempunyai makna spesifik, maka Shahrur dengan metode linguistiknya mencoba untuk menggali makna term–term di atas.

A. Al-Kitab dan al-Qur’an

Kata al-Kitab berasal dari kata ka-ta-ba yang dengan bahasa arab berarti pengumpulan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk memperoleh manfaat atau untuk membentuk sebuah tema yang sempurna. Dari sisi fonologi (al-Nahiyah al-Shautiyah), susunan fonem kata ka-ta-ba berkebalikkan dengan kata ba-ta-ka, dan dimungkinkan pula berupa kata ba-ka-ta. Sedangkan dari sisi semantik, kata “al-Kitab” berlawanan arti dengan kata ‘al-Batak’ dan ‘al-Bakat’.

Misalnya, sebuah kalimat yang berbunyi Ashdara raisu al-wuzara’i kitaban (perdana menteri mengeluarkan sebuah ‘kitab’), dapat dipahami bahwa yang dimaksud kata ‘kitab’ adalah ‘pernyataan yang terkandung di dalamnya’ bukan kitab dalam pengertian teks atau tulisan semata-mata. Karena jika demikian, kalimat tersebut menjadi tidak sempurna. Kata kitab yang mengandung pengertian ‘buku’ terdapat dalam kalimat kitab al-fiziyah li shaff al-‘asyir (buku fisika untuk kelas sepuluh).

Sekarang kita kembali merujuk kepada teks al-Qur’an, misalnya kita mendapatkan istilah as-Shalatu kitabun hal ini berarti bahwa sholat merupakan bagian dari tema-tema ibadah yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, sebagai mana dalam redaksi ayat inna as-sholata ‘ala al-mu’minina kitaban mauquta (an-Nisa’ ayat 103).

Oleh karena itu, Allah memberi wahyu kepada Muhammad berupa tema yang bermacam-macam, maka setiap tema dapat disebut sebagai kitab. Misalnya lagi dalam redaksi ayat rosulun min alaihi yatlu shuhufan muthohharoh; fiha kutubun qoyyimah (al-Bayyinah: 2-3). Term ‘al-Kutub al-Qoyyimah’ mencakup pengertian’kitab al-khalqi’ (kitab tentang penciptaan), kitab al-sa’ah (kitab tentang hari akhir), kitab al-salah (kitab tentang solat) dan seterusnya. Seluruh tema tersebut merupakan kutub.

Dari semua pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa memaknai setiap penggalan ayat yang memuat kata kitab dalam mushaf dengan arti ‘sebuah kitab yang mencakup kandungan mushaf secara keseluruhan’ merupakan kesalahan besar. Karena ayat-ayat yang tertera dalam lembaran-lembaran mushaf, dari surat al-Fatihah sampai an-Nas, terdiri dari berbagai macam kitab dalam pengertian tema. Dan masing-masing dari kitab tersebut terdiri dari berbagi macam sub kitab. Contohnya: kitab al-ibadat terdiri dari kitab solat, kitab shaum, kitab zakat dan kitab haji. Kitab shalat terdiri dari kitab wudhu, kitab ruku’, kitab sujud dan seterusnya.

Berbeda halnya ketika kata kitab berbentuk makrifat (definite) dengan imbuhan atribut lam ta’rif, “al-Kitab”, seperti dalam ayat dzaalika al-kitabu la roiba fiih, maka kata tersebut merujuk pada pengertian seluruh kandungan mushaf. Dengan demikian, istilah al-Kitab merujuk pada pengertian ‘kumpulan berbagai macam tema (al-mawaadi) yang diwahyukan kepada Muhammad’, dan oleh karenanya, surat al-Fatihah disebut fatihat al-kitab. Jadi, kitab dalam pengertian ini memuat tema-tema utama sebagai berikut: 1. Kitab al-ghaib, ‘alladzina yu’minuuna bi al-ghaib’; 2. Kitab ibadah dan akhlak, ‘wa yuqimuna al-shalata wa mimma rozaqnahum yunfikum’.

Sekarang mari menilik pada redaksi ayat Shahru romadhona alladzi unzila fiihi al-Qur’anu hudan li an-naasi wa bayyinaati min al-huda wa al-furqan (al-Baqarah: 185). Pada ayat ini didapati term al-Qur’an disandingkan (athaf) dengan term al-Qur’an (disini kami memhami bahwa kata bayyinat dalam pengertian Shahrur adalah al-Kitab –Pemakalah). Dalam linguistik arab, fungsi athaf adalah untuk menunjukkan adanya perbedaan atau untuk menunjukkan antara kata yang umum atau yang khusus. Ada dua kemungkinan pemahaman disini, yaitu: pertama, bahwa al-Qur’an adalah sebuah entitas dan al-Kitab adalah entitas yang lain, dan penyandinga keduanya untuk menunjukkan adanya perbedaan (li al-taghayur). Kedua, al-Qur’an merupakan bagian dari al-Kitab dan penyandingan keduanya berfungsi sebagai penujukan yang khusus dari yang umum. Pemahaman ini sebagai usaha penegasan (ta’kid) dan menarik perhatian pendengar betapa pentingnya bagian yang khusus. Kita perhatikan ketika menyebut al-Kitab, Allah berfirman: hudan li al-muttaqin karena dalam al-Kitab tercantum hukum-hukum ibadah, muamalah, dan akhlak, yatu kandungan yang mendoromg terciptanya ketakwaan, selain juga mengandung al_qur’an. Dan ketika menyebut al-Qur’an, Allah berfirman: hudan li al-nas. Kata al-nas mencakup seluruh kategori manusia bagi yang bertakwa atau tidak. Seluruh orang yang bertakwa adalah manusia, tetapi tidak seluruh manusia itu bertakwa.

B. Al-Dzikr

Firman Allah: Shaad, wa al-Qur’ani dzi al-Dzikr (Shad:1). Jika kita perhatikan hubungan yang mengikat antara term al-Qur’an dan al-Dzikr pada ayat ini, tedapat atribut ‘dzi’ yang menandakan pada sifat sesuatu (memilik sebuah sifat tertentu); bukan pada entitas itu sendiri. Dalam konteks ini, kata al-Qur’an berkedudukan sebagai yang disifati, sedangkan al-Dzikr adalah kata sifatnya. Sehingga pengertiannya ‘dan al-Qur’an adalah pemilik al-Dzikr’.

Apakah pengertian sifat Dzikr yang hanya khusus dimiliki oleh al-Qur’an ini?

Pada bentuk dasarnya, al-Qur’an tidak berbentuk linguistik, kemusian oleh Allah diubah menjadi berbentuk linguistik berdasarkan firman-Nya: inna ja’alnaahu Qur’anan ‘Arabiyan (Al-Zuhruf: 3). Proses pengubahan al-Qur’an menjadi berbentuk bahasa manusia dalam format linguistik Arab berlangsung secara sempurna yang bentuk finalnya berupa ‘bentuk bahasa literal’ (shigah mantuqah) (yang dapat diucapkan dan dapat dimengerti). Oleh karena itu, dikatakan bahwa al-Qur’an adalah bacaan yang dilantunkan dalam bentuk literal, baik dapat didengar maupun tidak.

Term al-Dzikr dapat didefinisikan sebagai pengubahan (al-Qur’an) menjadi berbentuk bahasa manusiawi yang secara literal berupa linguistik Arab. Bentuk inilah yang digunakan untuk membaca dan memahami al-Qur’an. Bentuk bahasa al-Qur’an ini adalah bahasa Arab, oleh karena itu dikatakan kepada bangsa Arab: laqod anzalna ilaikum kitaban fiihi dzikrukum afala ta’qilun (al-Anbiya: 10), yang berarti bahwa di dalam al-Qur’an terdapat bentuk wahyu berbahasa Arab yang tersuarakan dalam media bahasa Arab murni. Oleh karena itu, Allah menggunakan redaksi: fiihi dzikrukum.

Pemahaman ini menguraikan permasalahan besar yang muncul dalam perdebatan antar mu’tazilah dan musuh-musuh mereka tentang kemakhlukan al-Qur’an. Jika sekarang kita telah memahami bahwa al-Dzikr bukanlah al-Qur’an itu sendiri, melainkan salah-satu sifat dari al-Qur’an –yaitu bentuk linguistiknya- maka hilanglah kesimpang-siuran dalam masalah ini. Oleh karena itu, dalam al-Kitab disebutkan bahwa syarat untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an adalah: wa ma arsalnaka qoblaka illa rijalan nuuhi ilaihim, fas aluu ahl al-Dzikr in kuntum la ta’lamun (al-Anbiya: 7). Dari prespektif ini, pemahaman yang dimaksud dengan ahl al-Dzikr adalah pihak yang memiliki pengetahuan mendalam terhadap linguistik Arab.

Bentuk al-Qur’an yang baru diciptakan inilah yang menduduki posisi sebagai bentuk wahyu yang bernilai ibadah. Ketika manusia membaca bentuk literal al-Qur’an, meskipun tanpa pemahaman terhadap pemahamannya, tetap bernilai ibadah. Seluruh manusia baik Arab atau non-Arab jika membaca al-Qur’an maka tindakannya tetap bernilai ibadah. Ketika orang Indonesia membaca ‘bacaan dzikr’ dalam shalat, walaupun tidak mengetaui maknanya, maka shalatnya tetap sah. Oleh karena itu Allah berfirman: aqim shalat li dzikri (Thaha: 14).

C. Al-Furqon

Term al-Furqon diturunkan pertama kali kepada Musa bersamaan diturunkannya al-Kitab. Pengertiannya, bahwa al-Furqon diturunkan secara terpisah dari al-Kitab. Pernyataan al-Furqon ini disampaikan Allah dalam surat ali Imran, bahwa al-Furqon, Taurat dan injil diturunkan sebelum al-Kitab diturunkan kepada nabi Muhammad saw. Al-Furqon yang diturunkan kepada nabi Musa adalah al-Furqon yang sama yang digunakan kepada Muhammad dalam bulan Ramadhan sebagaimana redaksi Syahru Rhomadhona alladzi unzila fihi al-Qur’an (Al-Baqarah:185). Karena al-Furqon disebut dengan sejajar (ma’tuf) dengan al-Qur’an, maka dapat disimpulkan bahwa al-Furqon bukan al-Qur’an.

Firman Allah: ‘tsumma atayna musa al-Kitab’ (al-An’am: 153), wa idz atayna musa al-Kitab wa al-Furqona… (al-Baqarah: 53), dan min qoblu hudan li al-nasi wa anzala al-furqon (Ali-Imron: 4). Artinya bahwa al-Furqon telah diturunkan (kepada Musa) sebelum ia diturunkan kepada Muhammad. Dengan demikian, Shahrur menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-Furqon adalah sepuluh wasiat yang diturunkan kepada Musa dan ditetapkan juga kepada Isa, kemudian terakhir kali diturunkan kepada Muhammad. Al-Furqon adalah titik temu tiga agama samawi yang menjadi wilayah bersama (al-qosim al-musytarak) antara ketiga agama tersebut. Di dalamnya terdapat ketakwaan social yang disebut dengan akhlak. Ia bukan penjelasan tentang ibadah ritual, melainkan wahyu yang mengandung karakter universal dan manusiawi.

Al-Furqon terdiri dari dua macam: pertama, Furqon Umum (al-Furqon al-‘Amm), yaitu yang diturunkan kepada Musa, Isa dan Muhammad. Kedua, Furqon khusus (al-Furqon al-Khos), yang diturunkan kepada Muhammad saja.


Sumber: http://cakgopar.com/2014/03/pandangan-shahrur-tentang-konsep-kata-al-dzikr-dalam-al-quran/

Labels: ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home