Santri Kelas Satu
Oleh
Abdul Aziz bin Mundzir
Adalah
sebuah anugrah yang tidak terkira, aku bisa menyelesaikan studiku di Pesantren
Gontor ini. Aku tidak pernah menyangka bahwa impianku untuk melanjutkan
pendidikan setelah menyelesaikan sekolah di Madrasah Tsanawiyah, di Pesantren
Gontor ini terwujud. Aku dulu pernah menghayal, bahwa Gontor adalah pesantren
yang sangat berdisiplin tinggi dan ketat. Bahkan aku sering berandai-andai tuk
bisa mengenyam pendidikan disana, merasakan semua cerita-cerita yang masuk ke
telingaku. Guru-guru yang datang mengajar di Madrasah Tsanawiyahku seakan-akan
memberi tahu kepada kami “beginilah pendidikan dan pengajaran di Gontor”. Mereka
datang sebagai utusan dari Gontor. Mereka datang untuk mengabdi di Madrasahku,
karena Madrasahku selalu mendapat kiriman bantuan tenaga kerja guru dari
Gontor. Secara, karena madrasahku adalah ponpes yang dikelola oleh pimpinan alumni
Gontor. Meski setiap tahun ada saja yang pergi, ada pula yang datang. Namun,
semua guru-guru itu adalah sumber inspirasi yang tak pernah terlupa. Mengabdi adalah
kewajiban terakhir semua santri kepada Gontor. Salah satu cara mengabdi yang
Gontor sarankan dan anjurkan adalah menjadi guru.
Guru-guru
itulah penyebab kenapa aku menginjakkan kakiku di bumi Darussalam, sebuah kampung damai. Rasa penasaran, keingintahuan,
rasa ingin merasakan, dan seterusnya juga faktor utama kepergianku ini. Semoga guru-guruku
itu masih dalam keadaan sehat, meski saat ini tidak semuanya kutahu keberadaan
mereka. Andai suatu saat ada kesempatan untuk bertemu, kuingin memeluk dan
berterima kasih atas inspirasi-inspirasi yang aku ambil dari mereka.
Tidak
semua orang tahu bagaimana kehidupan di Pesantren Gontor. Sebuah film “Negri 5
Menara” menurutku masih belum menjelaskan Gontor seutuhnya. Gontor itu luas,
setiap santri punya cita rasa yang berbeda dalam mengeyam pendidikan di Gontor.
Maka dari itu, izinkan aku tuk bercerita sedikit apa yang aku tahu. İya, ini
adalah pandanganku, hasil aku mengamati selama menjadi santri.
Kelas
satu. Mereka yang datang dari lulusan SD ataupun Madrasah Ibtidaiyah akan
memasuki kelas ini. Sedang aku datang setelah menjadi lulusan Madrasah
Tsanawiyah, setingkat SMP. Jadi, kelas satu bukanlah kelas yang aku masuki. Aku
masuk ke kelas satu intensif. Pada kesempatan selanjutnya akan aku jelaskan
insyaAllah.
Kelas
satu. Mereka adalah anak-anak kecil yang masih polos. Wajah-wajah mereka masih
bersih, seakan bayi yang baru lahir. Pertama masuk Gontor, ibarat pertama
datang ke dunia. Dalam kata lain, ketika kita masuk Gontor kita akan
mempelajari semuanya dari nol lagi.
İya,
mereka masih kecil, tapi bercita-cita untuk menjadi besar. İya, mereka sekarang
rendah, namun bermasa depan yang tinggi. Oleh karena itu, tidak sedikit wali
atau orang tua yang sulit untuk meninggalkan mereka sendiri. Ada orang tua yang
rela menginap di penginapan tamu setiap harinya, demi melihat anaknya sehat dan
tidak terjadi apa-apa. Ada orang tua yang datang seminggu sekali, dua minggu
sekali, tiga, empat, dan seterusnya. Makanya, di bagian penerimaan tamu itu
biasanya penuh dengan anak kelas satu. Ketika aku melewati bagian penerimaan
tamu aku melihat ada mereka yang sedang disuapin makanan, ada yang sedang
menangis, ada yang sedang tidur di paha bundanya, dan banyak lagi.
Santri
kelas satu. Mereka tinggal di sebuah gedung yang bernama GBS. Gedung ini
terletak di depan masjid jami’ sebelah kanan. Tempat ini khusus untuk anak baru
dan kelas satu saja. disinilah mereka berkumpul dan bersenda gurau, mandi,
belajar mencuci, belajar berbicara bahasa arab, mempelajari pelajaran, dari
tidur sampai bangun kembali, dari bangun sampai tidur. Anak-anak GBS mempunyai
kehidupan yang jelas. Tempat yang akan mereka kunjungi dan sering mereka
kunjungi adalah rayon (asrama), masjid, dapur umum, kantin, dan kelas. Sangat jarang
sekali mereka ditemukan di tempat lain. Mereka mempunyai aturan khusus, yaitu
tidak diperkenankan berbicara dengan anak lama. Oleh karena itu, mereka merasa
tidak bebas dan selalu diawasi. Mereka lebih memilih untuk menaati dan
menenangkan diri.
Sebagaimana
anak baru yang lainnya; kelas satu ataupun kelas satu intensif hanya
mendapatkan kesempatan berbicara bahasa Indonesia dalam waktu tiga bulan. Setelah
tiga bulan berlalu, jangan harap mereka bisa berbahasa Indonesia dengan
leluasa. Karena sejak saat itu ada mata-mata yang ditugaskan khusus untuk
mencari pelanggar bahasa. Beginilah perkenalan awal santri baru dengan bahasa
di Gontor.
Anak
kelas satu memiliki ciri-ciri khusus. Jadi, jika ciri-ciri ini terdapat pada
mereka, kita bisa mengambil kesimpulan pasti mereka adalah kelas satu. Di antaranya;
bertubuh kecil (meski ada juga yang besar), kemana-mana membawa gantungan kunci
dan kuncinya (biasanya digantungkan di leher atau pinggang), selalu membawa
kantong sandal, pakaian mereka agak lusuh, berwajah polos, selalu berlari dengan
senjata piring yang terhunus ketika pergi ke dapur umum, setiap benda kepunyaan
mereka bertuliskan nama mereka, kurang bersih, yang jelas mereka menggunakan
papan nama yang tercantum kelas mereka, dan lain-lain lagi.
Mereka
tidak tinggal sendiri di asrama. Ada pengurus yang dikenal dengan mudabbir,
yang selalu mendampingi mereka. Mereka adalah pengurus rayon, santri kelas lima
yang diberikan tanggung jawab khusus untuk mengawal jagoan-jagoan kecil ini. İya,
pengurus biasanya orang-orang pilihan, yang memumpuni dalam bidang apapun,
bahasa (Arab dan Inggris) khususnya. Merekalah tempat anak-anak kelas satu ini
bercurhat, berbagi suka dan duka. İya, pengurus inilah yang membangunkan mereka
di pagi yang masih gelap, meneriakkan kosakata-kosakata di setiap paginya,
memantau dan bertanggung jawab atas kehidupan anak kelas satu dari mereka
bangun sampai tidur lagi, bahkan ketika mereka tidur sekalipun.
Ke
Gontor Apa yang Kau Cari? Tulisan ini terpasang di dinding gedung GBS secara
besar. Setiap orang yang melewati pasti terpaksa untuk membacanya. İya, mereka
masih anak-anak kelas satu yang tidak tahu apa-apa. Jadi, pertanyaan ini seakan
memancing dan mengingatkan mereka untuk memikirkan tujuan awal dan akhir kenapa
mereka berada disini.
Lonceng
berbunyi. Mereka pun berlari. Guru-guru pun mendatangi kelas masing-masing. Jujur,
mengajar anak kelas satu sangat susah. Aku pernah mengajar mereka dan ternyata memang
begitu susah. Namanya juga anak kecil, guru harus sabar dalam mengajar. Para guru
pengajar anak kelas satu adalah orang-orang yang bersemangat tinggi. Kelas-kelas
anak kelas satu selalu terlihat dan terdengar ramai. Mereka lebih suka diajak
berteriak daripada mendengarkan penjelasan guru yang bertele-tele.
Sayangnya,
aku tidak tahu apa yang dirasakan mereka, apa yang mereka pikirkan. Karena aku
belum merasakan sendiri bagaimana menjadi santri kelas satu di Gontor. İya, aku
pun merasakan, tapi sebagai santri kelas satu intensif yang akan aku jelaskan
di lain waktu. Namun, dari apa yang aku lihat, anak-anak kelas satu adalah
anak-anak yang super pemberani. Mereka masih kecil, tapi meninggalkan rumah
mereka yang jauh, belajar mandiri, dan seterusnya. Banyak orang tua yang
menangis ketika berjumpa dengan anaknya. Karena tiba-tiba anaknya datang mencium
tangan ayah bundanya, tiba-tiba anaknya terlihat mandiri, tiba-tiba anaknya
tahu bagaimana hidup sendiri tanpa orang tua. İya, beginilah Gontor mendidik
santri-santrinya.
Mungkin
cerita ini terlihat sangat pendek. Karena masih banyak yang belum aku
ceritakan. Tentunya, jika ada kesempatan lain aku akan melanjutkan lagi cerite
tentang santri kelas satu ini. Gontor, adalah tempat yang berisi jutaan
kenangan, yang masih terngiang hingga sekarang.
Kahramanmaras
Turki, 30 Januari 2014
Labels: Pendidikan, Pengalaman
1 Comments:
Kolay Gelsin Abicim
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home