Dari Mantingan ke Istanbul: Menuju Ibn Haldun University
Setiap anak pasti punya cita-cita. Seperti kata pujangga Arab,
jika burung terbang dengan sayapnya, maka manusia ‘terbang’ dengan
cita-citanya: at-ṭā’iru yaṭīru bi-janāḥayhi wa’l-insānu yaṭīru
bi-himmatihi. Begitu juga aku yang baru lulus dari Kulliyatu’l-Mu‘allimāt
al-Islāmiyyah Gontor Putri 1. Sambil mengabdi sebagai guru alias ustādzah –sebuah
panggilan yang mengisyaratkan amanah sekaligus wibawa di dalam pondok– aku juga
aktif mengikuti kuliah di Universitas Darussalam (UNIDA) untuk program studi
Pendidikan dan Pengajaran Bahasa Arab. Namun demikian, keinginan mencoba ujian
masuk perguruan tinggi negeri mendorongku bersama kawan-kawan untuk ikut
SBMPTN. Di sela-sela kesibukan rutin yang cukup padat, aku pun meluangkan
sedikit waktu setiap hari untuk belajar dan mengerjakan soal-soal ujian.
Alhamdulillah, kedua orangtuaku mendukung keinginan itu. Singkat cerita,
setelah ‘berjuang’ untuk bisa mendaftar ke sistem online yang
meminta isian nomor induk siswa nasional dengan bolak-balik telpon ke rumah dan
orangtuaku wara-wiri menemui kepala sekolah (SD) dan kantor Dinas Pendidikan,
aku berhasil ikut ujian SBMPTN di kampus UNS Solo.
Humans proposes but God disposes. Manusia hanya bisa merencanakan, tetapi Tuhan yang menentukan.
Pengumuman hasil SBMPTN yang disiarkan serentak melalui media massa membuat
harapanku hancur seketika. Tak satupun pilihanku lolos. Rasa kecewa dan sedih,
sesal (karena sudah izin tidak meneruskan pengabdian di pondok) dan cemas
bercampur-aduk jadi satu. Beberapa waktu aku merasa hopeless, khawatir
kalau sampai sikucapang sikucapeh, saikua tabang saikua lapeh, yang
dikejar tak dapat, yang di tangan berlepasan. Waktu berjalan terus, dan masih
ada waktu untuk mendaftar ke beberapa kampus swasta jika mau. Juga di kampus
negeri melalui jalur mandiri, dengan konsekuensi biaya yang jauh lebih mahal
tentunya.
Namun orang tua menyarankan agar aku mendaftar ke beberapa kampus
di luar negeri. Kebetulan masih ada beberapa kampus di berbagai negara yang
masih menerima pendaftaran mahasiswa baru. Ketika itu aku mendaftar ke beberapa
Universitas di Brunei, Pakistan, Oman dan Turki. Hanya sedikit diantara
Universitas atau lembaga tersebut yang mengabarkan hasil pendaftaran, bahwa aku
belum diterima. Sebagian besar kampus yang lain tidak mengirim e-mail apapun.
Walaupun kegagalan seperti datang berturut-turut, aku tetap menunggu dan berdoa
untuk sisa harapan yang ada. Alhamdulillah setelah sekian lama, akhirnya aku
mendapat kabar gembira lewat e-mail dan telfon dari dua universitas di Turki,
yaitu Universitas Istanbul Şehir dan Universitas Ibn Haldun. Keduanya
menyediakan beasiswa, namun aku memutuskan untuk memilih Universitas Ibn Haldun
karena kebetulan kampus tersebut memberi beasiswa penuh untuk biaya kuliah,
asrama, makan, dan uang saku, kecuali tiket pesawat, visa dan asuransi
kesehatan.
Pada bulan Augustus, aku mengikuti arahan pihak Universitas Ibn
Haldun untuk menghadapi seleksi pendaftaran kedua yaitu wawancara, seperti
kebanyakan seleksi beasiswa lainnya. Beberapa hari sebelum wawancara, mereka
menjelaskan bahwa wawancara akan diadakan online lewat Skype. Maka aku segera
membuat akun Skype dan memastikan bahwa jaringan tidak boleh menggangu
kelancaran wawancara. Namun saat aku merasa sudah siap kemudian ditelfon pihak
universitas, ternyata laptop yang aku gunakan belum bisa digunakan untuk video
call Skype. Aku salah karena belum mencoba video call sebelumnya.
Dengan rasa panik yang luar biasa, aku segera menulis ke pewawancara bahwa aku
minta maaf dan meminta waktu sebentar untuk memperbaiki Skype-ku. Berkali-kali
aku ganti laptop dan menelfon kedua orang tua dengan kuatir untuk minta solusi
karena ketika itu mereka tidak bisa menemaniku di rumah. Setelah berusaha
mengatasi masalah laptop, akhirnya aku berhasil install Google Chrome dan
mengaktifkan video call. Sekitar 15-20 menit kemudian aku kembali
memberanikan diri dan mengabari pewawancara bahwa aku siap. Alhamdulillah
mereka masih memberikanku kesempatan dan wawancara berlangsung lancar, tanpa
menanyakan masalah yang kualami sebelum wawancara. Mereka menanyakan seputar
siapa aku, alasan mengapa aku ingin mengambil jurusan yang kupilih, pengetahuan
dasar tentang jurusannya dan apakah orang tua membolehkan anak gadisnya kuliah
sangat jauh selama minimal 5 tahun. Di akhir wawancara, aku berterima kasih
kepada pewawancara dan meminta maaf atas tundaan waktuku.
Sekitar 2 minggu setelah wawancara, aku ditelfon oleh pihak
Universitas Ibn Haldun dan dikabari bahwa aku diterima. Tetapi mereka
mengirimkan Letter of Acceptance sepuluh hari setelah kabar tersebut. Bersamaan
dengan Letter of Acceptance, mereka menjelaskan bahwa aku harus berada di
Istanbul sebelum tanggal 17 September 2017. Maka ketika itu aku hanya memiliki
1 minggu juga untuk membeli tiket dan membuat student visa dengan Letter of
Acceptance tersebut di Kedutaan Besar Turki. Di Kedutaan Besar pun ternyata aku
mengalami sedikit masalah. Pihak universitas menjelaskan bahwa dengan membuat
e-visa pun tidak masalah, tapi pada akhirnya mereka bicara dengan pihak
Kedutaan Besar Turki dan student visaku jadi dalam 3 hari. Dua hari setelah
mengambil visa, aku berangkat ke Istanbul bersama temanku Ifan yang diterima di
kampus yang sama dan rombongan beberapa kakak kelas mahasiswa lain.
Alhamdulillah pada tanggal 17 September 2017 pagi waktu Turki, aku dan
rombongan sampai di Istanbul dengan selamat, disambut pihak Universitas,
pamanku, kakak IKPM Turki dan Mufli teman sekampusku.
Inilah kisah singkat perjalananku sebelum sampai di Universitas
Ibn Haldun Istanbul. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi pelajaran untuk
pembaca. Sebelum menggapai sesuatu, kegagalan tidak jarang terjadi. Maka usaha,
sabar dan doa diperlukan, serta niat yang baik untuk melakukan segala hal
lillahi ta‘ala.
Jehan Salsabila
Istanbul, 23 Februari 2018
2 Comments:
Kak, tahu ga , kapan pengumuman buat s1 tahun ini dari jarak wawancara... ?
kak gimana cara pendaftarannya pakek trankip ijazah gontor ?
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home