Jangan Pakai Peci Di Turki
Oleh
Deden Mauli Darajat*
Hari
pertama saya di Turki pada Oktober 2009 dibuka dengan shalat shubuh berjamaah
di apartemen bersama warga asing lain dan warga Turki. Saya memakai peci haji
saat shalat itu.
Usai
shalat kami sarapan bersama, dengan menu Turki yang sangat berbeda dengan menu
masakan Indonesia. Usai sarapan yang asing itu, saya keluar menuju pelataran
apartemen untuk melihat pemandangan sekitar.
Saya
masih menggunakan peci saat duduk di pelataran apartemen. Tiba-tiba teman saya
yang warga Turki itu mengatakan bahwa jangan menggunakan peci jika di luar
apartemen. “Ini bisa bermasalah,” ungkap Cezmi pada saya. Saya pun kemudian
melepas peci yang saya pakai. Sejumlah pertanyaan menyeruak dalam pikiran saya
tentang peci ini.
Pertanyaan
besarnya adalah mengapa Cezmi sampai melarang penggunaan peci di Turki
sementara negaranya berpenduduk mayoritas muslim. Cezmi saat ditanya itu hanya
menjawab bahwa ada pengawasan dari pihak berwenang akan penggunaan peci dan
hal-hal yang berkaitan dengan simbol agama.
Seperti
yang penah saya tulis pada catatan sebelumnya bahwa Turki berubah pandangan
ideologi sejak tahun 1923 dari Islam menjadi sekuler, bahkan Andi Mallarangeng
menyebutnya dengan extreme secularism. Perubahan ideologi ini mengubah budaya
kehidupan masyarakat Turki, misalnya pemakaian jubah menjadi jas berdasi, peci
berubah menjadi topi.
Ketakutan
Cezmi ini beralasan. Pasalnya jilbab saja saat itu dilarang masuk kampus. Itu
berarti peci juga dilarang digunakan di ruang publik.
Tapi
mengapa di sekitaran rumah ia juga seakan takut menggunakan peci, dimana saya
yang menggunakan peci itu juga bukan warga Turki. Saya mencoba menjawab bahwa,
apartemen yang saya tumpangi saat itu khawatir dicurigai sebagai apartemen
milik orang yang berideologi Islam.
Meski
demikian, orang-orang yang menggunakan peci di Turki bisa ditemui di
jalan-jalan. Namun yang menggunakan peci itu adalah orang-orang tua yang lanjut
usia dan orang yang pernah melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Makkah.
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa di Turki banyak apartemen yang disewa oleh
organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam. Apartemen itu diisi oleh kader-kader
ormas Islam yang setiap harinya mengaji dan mengkaji buku Islam, terkhusus
karangan ulama besar Turki, Badiuzzaman Said Nursi, dengan buku yang
terkenalnya Risalah Nur. Apartemen-apartemen ini menjadi semacam gerakan bawah
tanah penyebar ideologi Islam di Turki.
Said
Nursi lahir pada tahun 1878 dan
meninggal pada tahun 1960. Ia menjadi saksi sejarah bagaimana Kesultanan Turki
Usmani berubah menjadi Republik Turki. Ia diasingkan oleh penguasa Turki saat
itu, Mustafa Kemal Ataturk. Namun Said Nursi tetap berakwah menyebarkan
nilai-nilai keislaman yang sudah mulai dilunturkan oleh penguasa di negeri
semenanjung Anatolia itu.
Paradoks
Ada
hal yang menarik dalam melihat Turki saat ini. Turki seperti terbagi dalam dua
hal yang berseberangan. Meski menganut ideologi sekuler yang memisahkan negara
dan agama, pemerintah Turki saat ini memiliki Kementerian Agama yang mengurus
tentang haji dan imam khatib di masjid-masjid seluruh Turki.
Kementerian
Agama Turki juga mengatur tentang khutbah-khutbah di masjid-masjid seluruh
Turki. ada semacam penyeragaman dalam konten khutbah. Imam dan khatib di Turki
adalah pegawai negeri sipil yang diseleksi oleh kementerian Agama. Di setiap
masjid selalu ada imam dan khatib minimal satu orang. Jika masjid besar,
semisal di Masjid Kocatepe Ankara, imam masjid mencapai tujuh orang.
Di
lain sisi, pemerintah Turki juga memiliki departemen khusus bernama Milli
Piyango, departemen yang mengurus tentang lotere nasional. Hampir di setiap
keramaian kota, stand-stand kecil pemutar lotere dapat ditemui, baik di kota
besar maupun kecil. Depertemen lotere ini menyumbang besar pada liga sepak bola
Turki.
Jika
hari besar, Milli Piyango ini menyediakan hadiah besar hingga ratusan juta
rupiah. Selain lotere, Milli Piyango juga menyediakan tebak skor pertandingan
bola dengan hadiah dari yang paling kecil 10 Turkish Lira atau senilai 10 ribu
rupiah.
Di
satu sisi, masjid-masjid dipenuhi para jemaah di bulan Ramadhan. Atau
orang-orang berduyun-duyun datang ke masjid dalam acara peringatan hari besar
Islam. Di sisi lain, kafe-kafe yang menyediakan minuman keras beralkohol juga
dipenuhi oleh orang-orang. Bahkan ini terjadi di bulan Ramadhan. Yang lebih
parahnya adalah ketika bulan Ramadhan kafe-kafe masih buka di siang hari dan
ada saja orang yang makan dengan bebas di sana.
*(Alumnus
Universitas Ankara Turki/Dosen Komunikasi UIN Jakarta)
Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/14/03/17/n2k02t-jangan-pakai-peci-di-turki
Labels: Berita Turki, Pengalaman, Tulisan, Turki
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home