Panggilan Cinta Dari Konya
Oleh
Deden Mauli Darajat*
Suatu
hari teman saya, Selahattin, mengundang ke rumahnya di Konya, Turki bagian
tengah. Ia merupakan teman seasrama di Cebeci. Ia mempromosikan bahwa Konya
adalah kota yang damai, berbeda dengan Ankara kota yang ramai. Saya pun
menanggapi tawaran itu dengan menjadwalkan untuk berkunjung ke Konya ketika
liburan tiba.
Setibanya
di Konya, Selahattin mengajak keliling kota kerajaan Seljuk itu. Kami
berkunjung ke beberapa museum dan sejumlah masjid kuno yang masih terawat
dengan apik. Kami juga menengok makam ulama dan sufi besar asal Konya, Maulana
Jalaluddin Rumi. Malamnya, Selahattin dan kakaknya mengajak untuk menonton
tarian sufi bernama Sema. Tarian Sema ini adalah tarian yang diciptakan oleh
pengikut ajaran Rumi.
Saat
penari melakukan tarian Sema itu, tangan kanan direntangkan dan telapak tangan
menadah ke atas. Sedangkan tangan kiri direntangkan dan telapak tangan
menghadap bawah. Adapun badan penari berputar mengikuti irama yang
didendangkan.
Makna
tangan kanan menadah adalah menerima rezeki dari sang pencipta, Allah SWT.
Sementara makna tangan kiri menghadap bawah adalah membagikan rezeki kepada
sesama. Dengan kata lain, saat menerima kita harus juga sekaligus memberi.
Inilah nilai cinta yang ditebar oleh Rumi kepada masyarakat luas.
Meski
Republik Turki berdiri pada tahun 1923 dan menjadikan sekulerisme sebagai
ideologi negara, dimana seluruh simbol yang berkonotasi agama dihapuskan, namun
hingga saat ini tetap saja nilai-nilai luhur budaya Islam masih terjaga. Ini
karena sejarah mencatat bahwa ada dua kerajaan besar Islam yang berdiri di
semenanjung Anatolia ini, yaitu Kerajaan Seljuk dan Kesultanan Turki Usmani.
Para raja dan sultan membudayakan budaya Islam pada masyarakat Turki saat itu.
Nilai
budaya Islam yang masih melekat pada masyarakat Turki saat ini adalah penerapan
sabda Nabi Muhammad yaitu bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi
yang lainnya. Bermanfaat bagi yang lainnya adalah dasar dari sebuah cinta.
Dengan cinta seseorang lebih mengedepankan memberi ketimbang meminta. Dengan
cinta yang kuat dalam diri seseorang ia tidak mengharap pemberian orang lain
tetapi ia berpikir bagaimana ia bisa memberi sebanyak mungkin kepada sesamanya.
Suatu
hari sepulang dari kampus menuju apartemen dengan menggunakan kereta bawah
tanah 'Metro', saya melihat dua orang yang sedang berdebat. Yang satu pelajar
sekolah dasar, yang satu mahasiswa. Dalam percakapan itu si mahasiswa ingin
memberi uang kepada pelajar SD sebagai pengganti kartu 'Ego' (kartu yang
digunakan untuk penggunaan transportasi publik). Namun, si pelajar SD menolak
karena ia merasa tidak meminjamkan kartu Ego itu melainkan memberikannya. Meski
si mahasiswa memaksa agar si pelajar SD menerima namun ia tetap menolaknya
dengan keras.
Saya
terkejut dan melakukan perenungan selama perjalanan sore itu. Bagaimana bisa
seorang anak kecil yang masih duduk di bangku SD dapat menolak pemberian uang.
Bagaimana bisa dua orang pelajar dan mahasiswa berdebat dan berebut untuk
berbuat kebaikan. Darimana anak-anak sekolah mendapatkan nilai-nilai keikhlasan
dan nilai kemandirian itu.
Saya
pun akhirnya mendapatkan jawabannya. Nilai-nilai luhur ini didapatkan dari
kelompok sosial terkecil yaitu keluarga. Keluargalah yang mendidik anak-anaknya
untuk tetap memegang teguh prinsip-prinsip budaya luhur yang dianut oleh kakek
moyang mereka. Akar-akar budaya yang bercorak Islam ini tidak bisa diserabut
oleh sistem sekulerisme yang dianut oleh negara Republik Turki. Sekulerisme
memang mengubah wajah penampilan masyarakat Turki, tetapi tidak mengubah
karakter budaya Islam yang damai dan menyejahterakan umat.
Yang
paling dapat dilihat dan dirasakan saat ini adalah bagaimana Pemerintah Turki
dan organisasi masyarakat (ormas) di Turki begitu gencar memberikan beasiswa
untuk para pelajar di seluruh dunia. Bahkan, tidak sedikit perorangan baik yang
berprofesi sebagai pengusaha ataupun pegawai negeri memberikan uang saku kepada
para pelajar asing yang ditemui di masjid atau di pertemuan-pertemuan. Ini
semua tidak akan hadir jika tidak ada cinta sudah yang melekat dan menjadi
karakter bangsa Turki.
*(Alumnus
Universitas Ankara Turki/Dosen Komunikasi UIN Jakarta)
Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/14/04/03/n3e3gd-panggilan-cinta-dari-konya
Labels: Pengalaman, Tulisan, Turki
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home